Jumat, 16 Agustus 2013

Firqotun Najiyah (golongan orang-orang yang selamat) Ath-Thoifah manshurah (kelompok yang mendapat pertolongan) Adalah Al-Ghurabaa (orang-orang yang terasing)




Hadts-hadits yang menerangkan keterasingan Islam Akhir Zaman.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya Islam dimulai dengan keterasingan dan akan kembali asing sebagaimana awalnya, maka beruntunglah orang-orang yang asing (Al-Ghuraba)” [Diriwayatkan oleh Muslim 2/175-176 -An-Nawawiy]
[a] Hadits Abdillah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu belaiu berkata :
Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Artinya : Sesungguhnya Islam dimulai dengan keterasingan dan akan kembali asing sebagaimana awalnya, maka beruntunglah orang-orang yang asing (Al-Ghuraba) beliau berkata : Ditanya Rasulullah siapakah Al-Ghuraba itu ? Beliau menjawab : Orang yang menjauhi kabilah-kabilah” [Hadits Lemah : Sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab saya : Thubaa Lilghuraba' No.1]
Dan dalam riwayat lain :
“Artinya : Orang-orang yang berbuat kebajikan ketika manusia rusak” [Shahih, sebagaimana dalam referensi terdahulu No. 1]
[b] Hadits Abdillah bin Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata :
Telah bersabda Rasulullah:
“Artinya : Sesungguhnya Islam dimulai dengan keterasingan dan akan kembali asing sebagaimana awalnya, mereka berlindung diantara dua masjid sebagaimana ular berlindung dalam lubangnya” [Diriwayatkan oleh Muslim 2/76 -An-Nawawiy]
[c] Hadist Abdillah bin Amr bin Al-Ash Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata :
Telah bersabda Rasulullah pada suatu hari dan kami bersama beliau:
“Artinya : “Beruntunglah orang-orang yang asing (Al-Ghuraba) ditanya Rasulullah siapakah Al-Ghuraba itu ? Beliau menjawab:” orang-orang shalih diantara banyaknya orang-orang yang buruk, orang yang menyelisihi mereka lebih banyak daripada mentaatinya” [Hadits Shahih karena banyak jalan periwayatannya sebagaimana telah kami jelaskan dalam kitab Thubaa Lilghuraba (3)]
Dan dalam riwayat yang lain,
“Artinya : Orang-orang yang lari mengasingkan diri bersama agamanya yang Allah akan membangkitkan mereka pada hari kiamat bersama Isa bin Maryam” [Hadits lemah sebagaimana dalam refensi diatas (3)]
[d] Hadits Ibnu Abbas [6] dan Anas bin Malik [7] semisal dengan hadits Abi Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
[e] Hadits Jaabir bin Abdillah [8] dan Sahal bin Saad [9] seperti hadits Ibnu Mas’ud dalam riwayat yang kedua.
[f] Hadits Abdurrahman bin Sannah Radhiyallahu ‘anhu beliau telah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Artinya : Sesunguhnya Islam dimulai dengan keterasingan dan akan kembali asing sebagaimana awalnya, maka beruntunglah orang-orang yang asing (Al-Ghuraba), ada yang bertanya : Wahai Rasulullahj siapakah Al-Ghuraba itu ? Beliau menjawab : Orang-orang yang berbuat kebaikan ketika manusia rusak dan demi dzat yang jiwaku ada ditanganNya sesunguhnya iman akan mengalir kembali ke Madinah sebagaimana mengalirnya air banjir, dan demi dzat yang jiwaku ada ditanganNya sungguh Islam akan kembali ke daerah dua masjid sebagaimana ular kembali berlindung ke lubangnya” [Hadits lemah sebagaimana dalam referensi diatas (10) dan hadits ini memiliki jalan periwayatan lain yang shahih dengan lafadz yang berbeda]
[g] Hadits Saad bin Abi Waqash seperti hadits Abdurrahman bin Sannah Radhiyallahu ‘anhu [Shahih lihat referensi diatas]
[h] Hadits Amru bin Auf Al-Muzaaniy Radhiyallahu ‘anhu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Artinya : Sesungguhnya agama ini akan kembali ke Hijaz sebagaimana kembalinya ular ke lubangnya dan agama ini terikat di Hijaz sebagaimana terikatnya domba di puncak gunung, sesungguhnya agama ini dimulai dengan keterasingan dan akan kembali asing maka beruntunglah Al-Ghuraba yaitu orang-orang yang memperbaiki apa yang telah merusak orang-orang setelahku pada sunnahku” [Hadits lemah sekali]
Kesimpulannya, hadits-hadits Al-Ghuraba ini adalah mutawatir atau memiliki jalur periwayatan yang sangat banyak yang tidak mungkin pra perawinya bersepakat dusta. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Suyuthiy dalam kitabnya Tadribur Rawiy (2/180) As-Sakhawiy dalam kitabnya Al-Maqaasidul Hasanah hal.114, Al-Ghumariy dalam komentarnya terhadap kitab Al-Maqaashidul Hasanah hal.114 dan Al-Kataaniy dalam kitabnya Nadzmul Mutanatsir hal. 33-34.

Tafsir Kata Al-Ghuraba’
[1] Al-Ladziina yuslihuuna idzaa fasada an-nasu [orang-orang yang berbuat kebajikan ketika manusia rusak]
[2] Annasun sholihuuna fi unaasi suu’in katsirin man ya’shiihim aktsaru mimman yuthii’uhu [orang-orang shalih diantara banyaknya orang-orang yang buruk, orang yang menyelisihi mereka lebih banyak dari yang mentaatinya]
Apakah terdapat perbedaan antara Al-Ghuraba’ dengan Al-Firqatun Najiyah dan Ath-Thaifah Al-Manshurah ?

Al-Ajuriy berkata : “Dalam kitab Sifatul Ghuraba’ minal Mu’minin hal : 27

Sabda beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam ” wasaya’uudu ghoriban” [Dan akan kembali asing]
Bermakna -wallahu a’lam-: ” hawa-hawa nafsu yang menyesatkan merebak lalu banyak dari manusia yang tersesat dengannya dan tinggallah ahlil haq (ahli kebenaran) yang berada di atas syari’at Islam menjadi asing di kalangan manusia, tidakkah kalian mendengar sabda Rasulullah.”
“Artinya : Umatku akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga kelompok. Semuanya didalam neraka kecuali satu. Ada yang bertanya : Siapakah yang selamat itu ? Beliau menjawab : Siapa yang berada pada keadaanku sekarang dan para sahabatku”
Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly berkata : “Kamu lihat Al-Ajuriy menafsirkan Al-Ghuraba’ dengan Al-Firqatun Najiyah.”
Al-Hafidz Ibnu Rajaab Al-Hambaliy berkata dalam kitab Kasyfil Kurbah Fi Washfi Hali Ahlil Ghurbah hal. 22-27: “Fitnah syahwat dan hawa nafsu yang menyesatkan itulah yang menyebabkan ahlil kiblat berpecah belah dan menjadi berkelompok-kelompok. Sebagaimana mereka mengkafirkan sebagian yang lain sehingga mereka bermusuhan, berpecah belah, dan berkelompok-kelompok setelah dahulunya mereka bersaudara dan diatas satu hati. Tidak selamat dari perpecahan ini kecuali satu kelompok yang selamat merekalah yang diterangkan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Senantiasa ada dari umatku sekelompok orang yang menegakkan kebenaran tidak merugikannya orang yang menghina dan tidak pula orang yang menyelisihi mereka sampai datang hari kiamat dan mereka dalam keadaan demikian”.
Mereka di akhir zaman merupakan Al-Ghuraba’ (orang-orang yang asing) yang disebutkan dalam hadits-hadits tersebut sebagai orang-orang yang berbuat kebajikan ketika manusia rusak, orang yang memperbaiki apa yang telah dirusak orang-orang setelahku dari sunnahku, orang-orang yang lari mengasingkan diri bersama agamanya dari fitnah-fitnah, dan mereka adalah orang-orang yang menjauhi kabilah-kabilah karena mereka sedikit sehingga tidak didapatkan seorangpun pada sebagian kabilah sebagaimana orang-orang yang masuk kedalam Islam pertama-tama pun demikian dan dengan ini para Ulama menafsiri hadits ini.”
Al-Auzaa’iy berkata dalam menafsirkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Sesungguhnya Islam tidak akan lenyap namun akan hilang ahlis sunnah sampai tidak tersisa di satu negara kecuali hanya satu orang”
Karena makna inilah banyak ditemui dari perkataan Ulama Salaf pujian terhadap As-Sunnah dan pensifatannya dengan keterasingan dan ahlinya dengan sedikit, sehingga Al-Hasan berkata kepada sahabat-sahabat beliau :

“Wahai Ahlus Sunnah lemah lembutlah kalian semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati kalian, karena kalian termasuk orang-orang yang paling sedikit.”
Yunus bin Ubaid berkata : “Tidak ada satupun yang lebih asing dari As-Sunnah dan lebih asing dari orang yang mengenalnya.”
Dan dari Sufyan At-Tsauriy, beliau berkata :” Berbuat baiklah kepada Ahlis Sunnah karena mereka adalah Ghuraba’.”
Dan yang dimaksud para imam-imam tersebut dengan As-Sunnah adalah jalan hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dia dan para sahabatnya berada atasnya yang selamat dari syubhat-syubhat dan syahwat-syahwat.
Oleh karena itu Al-Fudhail bin Iyaadh berkata bahwa Ahlus Sunnah adalah orang yang mengerti apa saja yang masuk ke perutnya dari barang-barang yang halal. Dan itu karena memakan barang-barang halal merupakan perkara sunnah yang paling besar yang ada di atasnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya kemudian As-Sunnah dalam adat banyak dari kalangan para ulama mutaakhirin dari Ahlil Hadits dan yang lain menjadi ibarat dari segala yang selamat dari syubhat-syubhat dalam i’tikad khususnya dalam masalah-masalah keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, para malaikat, kitab-kitab suciNya dan para RasulNya serta hari kiamat dan demikian juga dalam masalah-masalah taqdir dan keutamaan para sahabat. Mereka menyusun karangan-karangan dalam ilmu ini dengan nama As-Sunnah karena bahayanya sangat besar dan orang yang menyelisihinya berada di ujung kehancuran.
Adapun As-Sunnah yang sempurna adalah jalan hidup yang selamat dari syubhat dan syahwat-syahwat sebagaimana yang telah dikatakan oleh Al-Hasan, Yunus bin Ubaid, Sufyan dan Al-Fudhail serta yang lainnya, oleh karena itu ahlinya disifatkan dengan keasingan pada akhir zaman karena sedikit dan asingnya mereka.
Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly berkata : “Renungkanlah bagaimana Al-Hafizd Ibnu Rajab menjadikan Al-Ghuraba adalah Al-Firqatun Najiyah dan Ath-Thaifah Al-Manshurah dan tidak ada perbedaan diantara mereka.”
Jadi kesimpulannya adalah  bahwasannya tidak ada perbedaan diantara penamaan-penamaan ini karena semuanya mengantar kepada satu hakikat, inilah yang telah dijelaskan ahlil ilmu dari kalangan salaf.
Ahli Hadits Dan Siapakah Salaf Ahli Hadits
 
Pembahasan “Ahli Hadits” ini dilihat dari beberapa sisi :
Pertama.
Kesepakatan ahlil ilmu dan iman dalam menafsirkan Al-Firqayun Najiyah dan Ath-Thoifah Al-Masnhurah dengan Ahlil Hadits.
Ketahuilah wahai pencari kebenaran, sesungguhnya para Ulama telah bersepakat pendapat bahwa Ahlil Hadits adalah Ath-Thoifah Al-Manshurah dan Al-Firqatun Najiyah.
Disini saya paparkan di hadapan anda sekalian sejumlah besar dari mereka sehingga kamu tidak akan mendapatkan jalan kecuali mengikuti jalan mereka dan meniti jejak langkah mereka serta mengikuti pemahaman mereka. Karena merekalah pembawa agama Rabb semesta alam yaitu orang-orang yang berbicara dengan apa yang disampaikan Al-Kitab dan menegakkan apa yang ditegakkan oleh As-Sunnah. Barangsiapa yang tidak mengikuti jalan mereka berarti telah memperbodoh diri mereka sendiri.
[1] Abdullah bin Al-Mubaarok, wafat tahun 181H
[2] Ali bin Almadiniy, wafat tahun 234H
[3] Hamad bin Hambal, wafat tahun 241H
[4] Muhammad bin Ismail Al-Bukhariy, wafat tahun 256H
[5] Ahmad bin Sinaan, wafat tahun 258H
[6] Abdullah bin Muslim, wafat tahun 267H
[7] Muhammad bin Isa At-Tirmidzi, wafat tahun 276H
[8] Muhammad bin Hibban, wafat tahun 354H
[9] Muhammad bin Al-Husein Al-Ajuriy, wafat tahun 360H
[10] Muhammad bin Abdullah Al-Hakim An-Naisaaburiy, wafat tahun 405H
[11] Ahmad bin Ali bin Tsabit Al-Khotib An-Naisaaburiy, wafat tahun 463H
[12] Al-Husein bin Mas’ud Al-Baghawiy, wafat tahun 516H
[13] Abdurrahman bin Al-Jauziy, wafat tahun 597H
[14] Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawiy, wafat tahun 676H
[15] Ahmad bin Abdil Halim bin Taimiyah Syaikhul Islam, wafat tahun 728H
[16] Ishaaq bin Ibarahim Asy-Syaatibiy, wafat ahun 790H
[17] Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqaalaaniy, wafat tahun 881H [1]
([1] Telah saya (syaikh) paparkan perkataan-perkataan mereka dengan disertai referensinya dalam kitab saya Al-Alaali’ Al-Mantsurah Fi Aushofi Ath-Thoifah Al-Manshuroh, demikian juga Syaikh Abu Muhammad Rabi’ bin Hadi Al-Madkhaliy telah memaparkannya dalam kitabnya : Ahlul Hadits Hum Ath-Thoifah Al-Manshuroh wa Al-Firqatun Najiyah.)
Semua iman-imam tersebut di atas -dan yang lainnya pun banyak- telah menegaskan bahwa Al-Firqatun Najiyah dan Ath-Thoifah Al-Manshurah adalah Ahlil Hadits dan tidaklah tersesat orang yang mengambil teladan perkataan dan meniti jejak langkah mereka.
An-Nawawiy telah menukilkan kesepakatan ahli ilmu dalam hal ini dalam kitabnya Tahdzib Al-Asma’ wal Lughat, lalu berkata ; “Padahal mereka sendiri memiliki keutamaan yang besar dan dalam menjaga ilmu merupakan bukti kebesaran, sehingga dalam Shahihain diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
‘Artinya : "Senantiasa ada dari umatku sekelompok orang yang menegakkan kebenaran tidak merugikannya orang yang menghina"
Seluruh ulama atau mayoritasnya berpendapat bahwa mereka adalah pemikul ilmu.
Kedua
Mereka adalah orang yang berjalan di atas manhaj para sahabat dan orang yang mengikuti mereka dengan baik dalam berpegang teguh terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah serta mendahulukannya atas sekalian pendapat baik dalam aqidah, ibadah, muamalah, akhlak, politik, atau perkara apa saja dari perkara-perkara kehidupan yang kecil ataupun yang besar.
Dan mereka adalah orang-orang yang komitmen (kokoh pendiriannya) dalam pokok-pokok agama dan cabangnya di atas wahyu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan kepada hamba dan RasulNya serta orang pilihan dari makhlukNya Muhammad bin Abdillah.
Mereka adalah orang-orang yang melaksanakan dakwah kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, -baik perkataan, amalan maupun perbuatan- dengan segala kesungguhan, tekad, jujur dan istiqomah.
Merekalah orang-orang yang menghunus pedang ilmu dan menegakkan kebenaran yang telah asing sebagai upaya untuk menghilangkan penyimpangan orang-orang yang keterlaluan, ajaran orang-orang yang sesat dan ta’wilnya orang-orang bodoh dari agama dan pemeluknya.
Mereka orang-orang yang berjihad menghadapi semua kelompok-kelompok yang telah menyimpang dari manhaj para sahabat baik dia itu Mu’tazilah atau Khawarij atau Syi’ah Rafidhah atau Murji’ah atau Shufiyah atau Bathiniyah dan semua orang yang menyimpang dari petunjuk dan mengikuti hawa nafsu pada setiap zaman dan tempat tidaklah mereka menghiraukan celaan orang yang mencela dalam hal itu.
Merekalah orang-orang yang bergerak mewujudkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai” [Ali-Imron : 103]
Merekalah orang-orang yang mempraktekkan firman Allah Subhnahu wa Ta’ala :
“Artinya : Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” [An-Nur : 63]
Dan firman-Nya.
“Artinya : Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka” [Al-Ahzab : 36]
Sehingga mereka menjadi orang yang paling jauh dari menyelisihi perintah Allah Subhnahu wa Ta’ala dan RasulNya dan menjadi orang yang paling jauh dari fitnah-fitnah yang tampak atau yang tidak tampak.
Merekalah orang-orang yang menjadikan Al Quran dan Sunnah sebagai jalan hidup mereka.
“Artinya : Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” [An-Nisaa : 65]
Sehingga mereka mengagungkan nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah dengan benar dan mengedepankannya atas semua perkataan manusia, berhukum kepadanya dengan penuh keridhoan dan kelapangan dada tanpa ada kesempitan dan keengganan. Mereka berserah diri penuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam aqidah, ibadah, muamalah, akhlak dan semua sisi kehidupan mereka.
Salaf Ahli Hadits dengan makna ini sangat luas cakupannya, sampai mencakup ribuan para Ulama ‘Amilin (yang beramal dengan ilmunya) yang telah termuat nama-nama mereka di dalam catatan sejarah dan buku-buku telah penuh dalam menyebut mereka. Mereka telah mengangkat kejayaan zaman dengan ilmu, keutamaan, dan amal mereka.
Barangsiapa yang ingin mengetahui hakekatnya tidak ada pilihan baginya kecuali kembali kepada buku-buku dan karya-karya yang ada, dan disini saya jelaskan tingkatan-tingkatan mereka (thabaqat mereka) :
Mereka para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seluruhnya yang telah beriman, melihat beliau dan mati dalam keadaan Islam, diantara tokoh-tokoh mereka Al-Khulafa’ur Rasyidin, kemudian sepuluh orang yang telah dipersaksikan sebagai ahli surga.
Mereka tokoh-tokoh tabi’in, diantara tokoh-tokoh mereka Uwais Al-Qorniy, Said bin Al-Musayyib, Urwah bin Az-Zubair, Saalim bin Abdillah bin Umar, Ubaidillah bin Abdillah bin Utbah bin Mas’ud, Muhammad bin Al-Hanafiyah, Ali bin Al-Hasan Zainal Abidin, Al-Qaasim bin Muhammad bin Abi Bakar Ash-Shiddiq, Al-Hasan Al-Bashriy, Muhammad bin Sirin, Umar bin Abil Aziz dan Muhammad bin Syihab Az-Zuhriy.
Mereka Atba’ut Tabi’in, diantara mereka tokoh-tokoh mereka Malik bin Anas, Al-Auzza’iy, Sufyan Ats-Tsauriy, Sufyan bin Uyainah Al-Hilaliy dan Al-Laits bin Saad.
Kemudian orang yang mengikuti mereka, diantara tokoh-tokoh mereka Abdullah bin Al-Mubaarok, Waki’, Asy-Syafi’i, Abdurrahman bin Mahdiy dan Yahya bin Said Al-Qathan.
Kemudian para murid mereka yang mengikuti manhaj mereka, diantara tokoh-tokoh mereka Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in dan Ali bin Al-Madiniy.
Kemudian murid-murid mereka, diantara tokoh-tokoh mereka Al-Bukhariy, Muslim, Abu Hatim, Abu Zur’ah, At-Tirmidiziy, Abu Daud dan An-Nasa’i.
Kemudian orang-orang yang berjalan dengan jalan mereka selanjutnya dari generasi-generasi yang menyusul mereka seperti Ibnu Jarir Ath-Thabariy, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Qutaibah Ad-Dainuriy, Al-Khatib Al-Baghdadiy, Ibnu Abdil Barr An-Namiriy, Abdul Ghaniy Al-Maqdisiy, Ibnu Ash-Sholaah, Ibnu Taimiyah, Al-Mizziy, Ibnu Katsir, Adz-Dzahabiy, Ibnul Qayim Al-Jauziyah dan Ibnu Rajab Al-Hambaliy.
Kemudian orang yang menyusul dan mengikuti jejak langkah mereka dalam bepegang teguh kepada Al-Kitab dan As-Sunnah dan memahaminya dengan pemahaman para sahabat sampai tegaknya hari kiamat dan orang yang terkahir dari mereka memerangi Dajjal. Mereka inilah yang kami maksudkan dengan As-Salaf Ahlul Hadits.
Dan tidak diragukan lagi bahwa penisbatan ini tidak dianggap benar kecuali kalau amalan orang yang mengakunya sesuai dengan manhaj Nabi.
Apakah terbayangkan dalam pikiran seorang yang berakal bahwa penisbatan ini adalah omong kosong ? atau diragukan ? atau ada tapi sekedar pengakuan ? atau tidak jelas manhajnya tergantung hawa nafsu pengikutnya.
Penisbatan ini megharuskan orang-orang yang menisbatkan diri kepadanya untuk benar-benar ber-Islam sebagai bukti kebenaran pengakuannya sehingga pengakuannya betul-betul benar. Siapapun juga di sepanjang kurun waktu dan pergantian generasi yang ada tidak akan benar penisbatannya kepada Ahlul Hadits ini kecuali dia bersesuaian dengan manhaj nabawi dalam aqidah, suluk, dan ibadahnya serta tidak mengerjakannya kecuali dari itu dan tidak tunduk kecuali kepadanya sampai dia menjumpai Rabbnya.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati Ibnu Taimiyah yang telah mejelaskan seluruhnya dalam kata-kata yang indah dalam Majmu’ Fatawa 4/95, beliau berkata : “Dan kami tidak memaksudkan dengan Ahlul Hadits hanya terbatas pada mendengar, menulis atau meriwayatkan hadits akan tetapi kami maksudkan dengan mereka adalah setiap orang yang benar-benar menjaga hadits, mengenal dan memahaminya serta mengikutinya secara lahir dan batin, dan demikian juga Ahlul Qur’an. Mereka paling tidak memilki sifat mencintai Al-Qur’an dan As-Sunnah, meneliti dan mengenal makna-maknanya serta beramal dengan apa yang telah mereka ketahui dari konsekwensi-konsekwensinya, sehingga Ahlul Fiqih dari Ahlul Hadits lebih mengetahui Rasulullah dari Ahlul Fiqih lainnya, shufinya [2] mereka lebih mencontoh Rasulullah dari pada shufi-shufi yang lainnya dan para penguasa mereka lebih pantas berpolitik nabawi daripada yang lainnya serta orang awam mereka lebih loyal (wala’) kepada Rasulllah dari yang lainnya.
( [2] Bukanlah maksudnya shufi-shufi sebagai satu kelompok yang memiliki aqidah dan pemikiran yang menyimpang dari Islam sebagaimana telah saya jelaskan dalam kitab saya Al-Jamaat Al-Islamiyah fi Dhuil Kitab Was Sunnah bi Fahmi Salaful Umat hal.82-152 dan yang dimaksud adalah Adz-Dzuhad (orang-orang zuhud) Wallahu ‘alam)
Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Pembicaraan Tentang Hal Ini Ditinjau Dari Beberapa Sisi :
Pertama : Sebab Penamaan Ini.
Syaikhul Islam di Majmu’ Fatawa 3/157 dalam menjelaskan hal ini : “Kemudian termasuk jalannya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah mengikuti jejak langkah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara lahir dan batin dan mengikuti jalnnya As-Sabiqunal Awalun (orang-orang pertama yang masuk Islam) dari kalangan kaum muhajirin dan Anshor serta mengikuti wasiat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersabda.
“Artinya : Maka berpegang teguhlah kepada Sunnahku dan Sunnah para Khalifah Rasyidin yang memberi petunjuk berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dia dengan gigi graham kalian. Dan waspadalah terhadap perkara-perkara yang baru (yang diada-adakan) karena hal itu adalah kebid’ahan dan setiap kebid’ahan adalah kesesatan”
Dan mereka mengetahui bahwa sebenar-benarnya kalam adalah kalamullah dan sebaik-baiknya contoh teladan adalah contoh teladan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mendahulukan kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kalam selainNya dari semua jenis manusia dan mengedepankan contoh teladan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau yang lainnya, dengan demikian mereka dinamakan Ahlul Kitab dan Sunnah.

Dinamakan Ahlul Jama‘ah karena Jama’ah bermakna berkumpul dan lawannya berpecah belah walaupun kata jama’ah akhirnya menjadi untuk satu kaum yang berkumpul ijma’ (konsensus) merupakan pokok ketiga yang menjadi sandaran ilmu dan agama.
Mereka menimbang dengan ketiga pokok ini semua ucapan dan amalan manusia baik lahir maupun batin dari hal-hal yang berhubungan dengan agama. Ijma’ yang otentik adalah yang ada padanya As-Salaf Ash-Sholih, karena setelah mereka terjadi banyak perselisihan dan umat pun telah bertebaran.
Lalu beliaupun menjelaskan dalam kitabnya Minhajus Sunnah bahwa madzhab mereka (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) telah ada sejak lama dan sudah dikenal sebelum Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad, karena dia adalah madzhabnya para sahabat yang telah mengambilnya dari Nabi mereka, dan siapa yang menyelisihi hal itu maka dianggap ahlil bid’ah menurut Ahlus Sunnah.
Kemudian beliau menjelaskan sebab penisbatan Ahlus Sunnah wal Jama’ah kepada Imam Ahmad bin Hanbal, dengan berkata : “Dan Ahmad bin Hanbal walaupun sudah terkenal sebab Imam Ahlus Sunnah dan kesabarannya dalam ujian, tidaklah itu semua karena dia bersendirian dalam pendapat tersebut atau mencetuskan satu pendapat yang baru akan tetapi karena As-Sunnah sudah ada dan terkenal sebelumnya yang beliau ketahui dan dakwahkan seta bersabar dalam ujian yang menimpanya serta tidak menyempal darinya.”
Kedua : Ahlus Sunnah wal Jama’ah Adalah Al-Firqatun Najiyah Dan Ath-Thaifah Al-Manshurah Serta Ahlil Hadits.
Berkata Syaikhhul Islam dalam Majmu’ Fatawa 3/129 : “Amma ba’du, inilah aqidah Al-Firqatun Najiyah Al-Manshurah sampai tegaknya hari kiamat Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan berkata dalam tempat yang lain 3/159 : “Dan jalan mereka adalah agama Islam yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus dengannya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkabarkan bahwa : Umatnya akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya di nereka kecuali satu yaitu Al-Jama’ah dan dalam hadits yang lain beliau bersabda : mereka adalah yang berada seperti yang aku dan para sahabatku ada sekarang, maka jadilah orang-orang yang berpegang teguh kepada Islam yang murni dan bersih dari campuran adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah ada pada mereka orang-orang Shiddiq, syuhada, dan orang-orang shalih dan dari mereka-mereka ini terdapat para tokoh-tokoh Ulama dan pelita umat yang memiliki kebesaran dan keutamaan yang terkenal serta ada pada mereka Al-Abdaal yaitu para imam yang telah disepakati kaum muslimin dalam petunjuk dan ilmu mereka. Merekalah Ath-Thaifah Al-Manshurah yang diceritakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Senantiasa ada dari umatku sekelomok orang yang menegakkan kebenaran tidak merugikannya orang yang menghina sampai datangnya hari kiamat”
Kita memohon kepada Allah yang Maha Agung untuk menjadikan kita termasuk dari mereka dan untuk tidak menyesatkan hati-hati kita setelah mendapat petunjuk serta menganugrahkan kita rahmat dariNya karena Dia adalah Al-Wahaab (yang Maha Pemberi). Wallahu a’lam.
Dan berkata juga dalam 3/345 : Oleh karena itu Al-Firqatun Najiyah disifatkan sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan mereka adalah mayoritas terbesar dan As-Sawadullah Al-A’zham.
Berkata lagi beliau 3/347 : “Dengan demikian jelaslah bahwa orang yang paling berhak dijadikan sebagai Al-Firqatun Najiyah adalah Ahlul Hadits dan As-Sunnah yang tidak memiliki satu tokohpun yang diikuti secara fanatik kecuali Rasulullah sedangkan mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui ucapan dan perbuatan Rasulullah, yang paling dapat membedakan yang shahih dan yang lemah dari hal tersebut sehingga para imam mereka adalah orang-orang yang faqih dan paling mengenal makna hadits-hadits tersebut dan paling mengikutinya secara keyakinan, amalan, kecintaan dan memberi loyalitas kepada orang-orang yang memiliki loyalitas kepadanya dan membenci orang yang membencinya, merekalah orang-orang yang mengembalikan perkataan-perkataan yang tidak pasti kepada apa yang ada didalam Al-Kitab dan As-Sunnah sehingga mereka tidak menetapkan satu perkataan lalu menjadikannya termasuk pokok-pokok agama dan pendapat mereka jika tidak ada ketetapannya pada apa yang telah dibawa Rasulullah bahkan menjadikan semua yang dibawa Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Al-Kitab dan As-Sunnah sebagai pokok (sumber) yang mereka yakini dan sandari.
Ketiga : Antara Ahlus-Sunnah Wal Jamaah Dan Salafiyah
Banyak dari kalangan kelompok Ahlul Bid’ah dan golongan-golongan sesat yang menggunakan nama Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah untuk menyimpangkan orang-orang awam dari dari kaum muslimin dari fitrah mereka.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatwa 3/346: “Banyak orang-orang menyebutkan tentang golongan-golongan ini dengan hukum prasangka dan hawa nafsu lalu menjadikan kelompoknya dan orang yang menisbatkan dirinya dan memberikan loyalitas kepada tokoh pemimpin yang diikutinya adalah ahlus-Sunnah Wal Jama’ah dan menjadikan orang-orang yang menyelisihinya sebagai Ahlul Bid’ah, hal ini merupakan kesesatan yang nyata, karena ahlul Haq was-Sunnah Wal Jama’ah tidak punya panutan kecuali Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi wasalam “.
Sebagian mereka memasukan kelompok Asy’ariyah sebagai bagian dari Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah sebagaimana yang dilakukan oleh Abdul Qahir bin Thoohir Al Baghdadiy wafat tahun 429 H dalam Al Farqu Bainal Firaq hal.313, dalam perkataannya :”Ketahuilah semoga Allah subhanuhu Wa Ta’ala memberikan kebahagian kepada kalian -Sesungguhnya ahlus-Sunnah Wal Jama’ah ada delapan kelompok :
Sekelompok mereka memiliki ilmu tentang bab-bab pembahasan tauhid dan nubuwah, hukum-hukum Alwa’ wal Wa’id, pahala dan dosa, syarat-syarat ijtihad, keimamahan dan kepemimpinan dan mereka ini berjalan pada bidang dari ilmu ini jalannya saufatiyah (orang yang menetapkan sifat) dari kalangan ahlil kalam yang berlepas diri dari Tasybih dan Ta’thil dan dari kebida’han Rafidhoh, Khawarij, Jahmiyah dan An-Najariyah dan seluruh ahli hawa yang sesat.
Sebagian mutaakhirin menyangka bahwa umat Islam telah menyerahkan kepemimpinannya dalam masalah aqidah kepada Asy’ariyah dan Maturidiyah, berkata Sa’id hawa dalam kitab Jaulatun Fil Fiqhaini hal. 22, 66, 81 dan 90 : ” Dan umat ini telah menyerahkan permasalahan i’tiqad kepada dua orang yaitu Abul Hasan Al-Asy’ariy dan Abu Manshur Al Maturidiy” dan berkata Azzabidiy dalam kitab Ithaafis Saadatil Muttaqiin (2/6):” Jika disebutkan Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah yang dimaksud adalah Asy’ariy dan Maturidiyah…”
Akhirnya istilah Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah telah menjadi longgar yang masuk padanya orang-orang yang memiliki penyimpangan dalam aqidah khususnya masalah sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, oleh karena itu sepatutnya menggunakan kata Salafiyah untuk menunjukan Al-Firqatun-Najiyah, Ath-Thoifah Al Manshurah, Al-Ghuraba dan Ahlil Hadits.
Sebagian Dai yang tetap terus menggunakan kata Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah berkata : “Apa pendapatmu jika ada beberapa kaum lalu mengaku Salafiyah sedang mereka dari kelompok-kelompok yang menyimpang, apakah kamu akan meninggalkan kata Salafiyah dan menggantinya dengan yang lain ?”
Jawabannya dari beberapa sisi:
[a] Anggapan ini menghasilkan mata rantai yang tidak ada ujungnya. maka hal itu (adalah suatu perkara) bathil.
[b] Ini merupakan anggapan (hipotesa) pada permasalahan yang belum terjadi lagi sedangkan para Salaf membenci pertanyaan tentang perkara-perkara yang dianggap ada sedangkan belum ada, dan masalah-masalah khayalan pemikiran.
[c] Klaim (pengakuan) kelompok-kelompok ini yang belum kita lihat dan belum kita dengar terhadap manhaj Salaf merupakan benturan terhadap pemikiran-pemikiran mereka karena manhaj Salaf mengharuskan pengikutnya untuk mengikuti jalannya para sahabat, hal ini tampak jelas dengan keterangan berikut :
[d] Semua kelompok-kelompok yang menisbatkan diri kepada Ahlus-sunnah wal Jama’ah tidak ada yang berani mengatakan : Saya Salafiy.
Kelompok-kelompok yang terkenal dengan kebidahannya tidak ada yang mengaku bermadzhab Salaf dan mengikuti ajarannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu Faatwa 4/155 : ” Yang dimaksud di sini bahwa kelompok-kelompok yang terkenal diantara Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah yang memiliki kebid’ahan sesungguhnya tidaklah mengikuti ajaran Salaf, apalagi kelompok ahlul bid’ah yang termasyhur yaitu Rafidah, sampai-sampai orang awam tidak mengenal syiar kebid’ahan kecuali Rafidhah, sedangkan sunniy dalam istilah mereka adalah orang yang tidak syiah dan demikianlah karena mereka paling menyelisihi hadits-hadits nabi dan makna Al-Qur’an dan yang paling mencela Salaf umat ini dan para imamnya serta melecehkan mayoritas umat dari macam-macam kelompok, sehingga ketika mereka semakin jauh dari mengikuti salaf maka yang paling masyhur dalam kebid’ahan. Sehingga diketahui bahwa syiar ahlul bid’ah adalah tidak mengikuti ajaran mengikuti salaf, oleh karena itu berkata Imam Ahmad dalam Risalah Abdus bin Malik : “Ushul As-Sunnah menurut kami adalah berpegang teguh dengan apa yang difahami para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Kemudian berkata lagi (4/156) : “Adapun (anggapan) ajaran salaf termasuk menjadi syi’ar Ahlul Bid’ah maka itu satu kebatilan karena hal itu tidak mungkin kecuali ketika kebodohan meraja lela dan ilmu sedikit”.
Oleh karena itu kita berbahagia dari balik keterus terangan ini sebagai langkah awal kepada dakwah Salafiyah yang tegak diatas Al-Kitab dan As-Sunnah yang shahih dengan pemahaman As-Salaf Ash-Shalih untuk memasukkan kelompok-kelompok yang menisbatkan diri kepada imam yang empat dalam fiqih (Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad (pent)) kedalam ruang lingkup Ahlus Sunnah Wal Jama’ah…Sedangkan yang tersembunyi biarlah sembunyi.
Kalau ada yang mengatakan : “Ini tidak terbesit dalam pikiran kami, sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui keadaan kita”.
Saya jawab : Alangkah pasnya ucapan penyair.
Jika kamu tidak tahu maka itu satu musibah
Atau kamu tahu maka musibahnya lebih besar.
Kesimpulan dari bab ini adalah
  1. Harus diakui bahwa ummat ini telah berpecah belah menjadi banyak golongan, dimana sebagian besar menyimpang dan hanya satu yang akan selamat.
  2. Satu golongan yang selamat (Firqotun Najiyah) itu adalah mereka yang selalu mengikuti jalan para salaful Ummah yang mendapat petunjuk dari kalangan sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.
Dalil-Dalil Kewajiban Mengikuti Jejak Salafush Shalih Dan Menetapkan Manhajnya
Mengikuti manhaj/jalan Salafush Shalih (yaitu para Shahabat) adalah kewajiban bagi setiap individu Muslim. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah sebagai berikut:
A. DALIL-DALIL DARI AL-QUR-AN
Allah berfirman:
“Artinya : Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia-lah Yang Mahamendengar lagi Maha-mengetahui.” [Al-Baqarah: 137]
Al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah (wafat tahun 751 H) berkata: “Pada ayat ini Allah menjadikan iman para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai timbangan (tolak ukur) untuk membedakan antara petunjuk dan kesesatan, antara kebenaran dan kebatilan. Apabila Ahlul Kitab beriman sebagaimana berimannya para Shahabat, maka sungguh mereka mendapat hidayah (petunjuk) yang mutlak dan sempurna. Jika mereka (Ahlul Kitab) berpaling (tidak beriman), sebagaimana imannya para Shahabat, maka mereka jatuh ke dalam perpecahan, perselisihan, dan kesesatan yang sangat jauh…”
Kemudian beliau rahimahullah melanjutkan: “Memohon hidayah dan iman adalah sebesar-besar kewajiban, menjauhkan perselisihan dan kesesatan adalah wajib. Jadi, mengikuti jalan hidup (manhaj) Shahabat Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kewajiban yang paling wajib.” [1]
[1]. Bashaa-iru Dzaawi Syaraf bi Syarah Marwiyati Manhajis Salaf (hal. 53), oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly.
Firman Allah yang lain:
“Artinya : Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan oleh Allah kepadamu agar kamu bertaqwa.” [Al-An’aam: 153]
Ayat ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa jalan (kebenaran) itu hanya satu, sedangkan jalan selainnya –yaitu jalan-jalan yang menyimpang dari kebenaran- adalah jalan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan jalannya ahlul bid’ah.
Hal ini sesuai dengan apa yang telah dijelaskan oleh Imam Mujahid ketika menafsirkan ayat ini. Jalan yang satu ini adalah jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Jalan ini adalah ash-Shirath al-Mustaqiim yang wajib atas setiap muslim menempuhnya dan jalan inilah yang akan mengantarkan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa jalan yang mengantarkan seseorang kepada Allah hanya SATU… 
Tidak ada seorang pun yang dapat sampai kepada Allah, kecuali melalui jalan yang satu ini.[2]
[2]. Tafsir al-Qayyim oleh Ibnul Qayyim (hal. 14-15).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahan-nam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [An-Nisaa’: 115]
Ayat ini menunjukkan bahwa menyalahi jalannya kaum mukminin sebagai sebab seseorang akan terjatuh ke dalam jalan-jalan kesesatan dan diancam dengan ma-suk Neraka Jahannam.
Ayat ini juga menunjukkan bahwasanya mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebesar-besar prinsip dalam Islam yang mempunyai konsekuensi wajibnya ummat Islam untuk mengikuti jalannya kaum mukminin dan jalannya kaum Mukminin adalah perkataan dan perbuatan para Shahabat ridhwanullahu ‘alaihim ajma’iin. Karena, ketika turunnya wahyu tidak ada orang yang beriman kecuali para Shahabat, sebagaimana firman Allah jalla wa’ala:
“Artinya : Rasul telah beriman kepada al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya, demikian pula orang-orang yang beri-man.” [Al-Baqarah: 285]
Orang Mukmin ketika itu hanyalah para Shahabat radhiyallahu ‘anhum tidak ada yang lain. Ayat di atas menunjukkan bahwa mengikuti jalan para Shahabat dalam memahami syari’at adalah wajib dan menyalahinya adalah kesesesatan. [3]
[3]. Lihat Bashaa-iru Dzawisy Syaraf bi Syarah Marwiyati Manhajis Salaf (hal. 54), oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly.
“Artinya : Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha terhadap mereka dan mereka ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka Surga-Surga yang mengalir sungai-sungai di dalam-nya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah keme-angan yang besar.” [At-Taubah: 100]
Ayat tersebut sebagai hujjah bahwa manhaj para Shahabat ridhwanullahu ‘alaihim jami’an adalah benar. Dan orang yang mengikuti mereka akan mendapatkan keridhaan dari Allah Jalla wa ’Ala dan disediakan bagi mereka Surga. Mengikuti manhaj mereka adalah wajib atas setiap Mukmin. Kalau mereka tidak mau mengikuti, maka mereka akan mendapatkan hukuman dan tidak mendapatkan keridhaan Allah Jalla wa ’Ala dan ini harus diperhatikan. [4]
[4]. Bashaa-iru Dzawisy Syaraf bi Syarah Marwiyati Manhajis Salaf, hal. 43, 53-54.
“Artinya : Kamu adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…” [Ali Imraan: 110]
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah Jalla wa ’Ala telah menetapkan keutamaan atas sekalian ummat-ummat yang ada dan hal ini menunjukkan keistiqamahan para Shahabat dalam setiap keadaan, karena mereka tidak menyimpang dari syari’at yang terang benderang, sehingga Allah Jalla wa ’Ala mempersaksikan bahwa mereka memerintahkan setiap kema’rufan (kebaikan) dan mencegah setiap kemungkaran. Hal tersebut menunjukkan dengan pasti bahwa pemahaman mereka (Shahabat) adalah hujjah atas orang-orang setelah mereka, sampai Allah Jalla wa ’Ala mewariskan bumi dan seisinya.[5]
[5]. Lihat Limadza Ikhtartu Manhajas Salafy (hal. 86) oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly.
B. DALIL-DALIL DARI AS-SUNNAH
‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat garis dengan tangannya kemudian bersabda: ‘Ini jalan Allah yang lurus.’ Lalu beliau membuat garis-garis di kanan kirinya, kemudian bersabda: ‘Ini adalah jalan-jalan yang bercerai-berai (sesat) tak satu pun dari jalan-jalan ini kecuali di dalamnya terdapat syaitan yang menyeru kepadanya.’ Selanjutnya beliau membaca firman Allah Jalla wa ’Ala: ‘Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan oleh Allah kepadamu agar kamu bertaqwa.’” [Al-An’aam: 153] [1]
[1]. Hadits shahih riwayat Ahmad (I/435, 465), ad-Darimy (I/67-68), al-Hakim (II/318), Syarhus Sunnah oleh Imam al-Baghawy (no. 97), di-hasan-kan oleh Syaikh al-Albany dalam as-Sunnah libni Abi ‘Ashim (no. 17), Tafsir an-Nasaa-i (no. 194). Adapun tambahan (mutafarriqatun) diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/435).
“Artinya : Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Shahabat), kemudian yang sesudahnya, kemudian yang sesudahnya. Setelah itu akan datang suatu kaum yang persaksian salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya.” [2]
[2]. Muttafaq ‘alaih, al-Bukhari (no. 2652, 3651, 6429, 6658) dan Muslim (no. 2533 (211)) dan lainnya dari Shahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini mutawatir, sebagaimana telah ditegaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Ishabah (I/12), al-Munawy dalam Faidhul Qadir (III/478) serta disetujui oleh al-Kattaany dalam kitab Nadhmul Mutanatsir (hal 127). Lihat Limadza Ikhtartu al-Manhajas Salafy (hal. 87).
Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan tentang kebaikan mereka, yang merupakan sebaik-baik manusia serta keutamaannya. Sedangkan perkataan ‘sebaik-baik manusia’ yaitu tentang ‘aqidahnya, manhajnya, akhlaqnya, dakwahnya, dan lain-lainnya. Oleh karena itu, mereka dikatakan sebaik-baik manusia [3]. Dan dalam riwayat lain disebutkan dengan kata “khaiyrukum” (sebaik-baik kalian) dan dalam riwayat yang lain disebutkan “khaiyru ummatiy” (sebaik-baik ummatku.’)
[3]. Limadza Ikhtartu al-Manhajas Salafy (hal. 86-87).
Kata Shahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
“Artinya : Sesungguhnya Allah melihat hati hamba-hambaNya dan Allah mendapati hati Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik hati manusia, maka Allah pilih Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusanNya. Allah memberikan risalah kepadanya, kemudian Allah melihat dari seluruh hati hambah-hamba-Nya setelah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka didapati bahwa hati para Shahabat merupakan hati yang paling baik sesudahnya, maka Allah jadikan mereka sebagai pendamping NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mereka berperang atas agamaNya. Apa yang dipandang kaum Muslimin (para Shahabat Rasul) itu baik, maka itu baik pula di sisi Allah dan apa yang mereka (para Shahabat Rasul) pandang jelek, maka jelak di sisi Allah” [4]
[4]. HR. Ahmad (I/379), dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir (no. 3600). Lihat Majma’-uz Zawaa-id (I/177-178).
Dan dalam hadits lain pun disebutkan tentang kewajiban kita mengikuti manhaj Salafush Shalih (para Shahabat), yaitu hadits yang terkenal dengan hadits ‘Irbadh bin Sariyah, hadits ini terdapat pula dalam al-Arbain an-Nawawiyah no. 28:
Artinya : “Berkata al-‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu [5]: ‘Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami, kemudian beliau menghadap kepada kami dan memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati bergetar, maka seseorang berkata: ‘Wahai Rasulullah, nasehat ini seakan-akan nasehat dari orang yang akan berpisah, maka berikanlah kami wasiat.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian supaya tetap bertaqwa kepada Allah, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kamu adalah seorang budak Habasiyyah. Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian setelahku maka ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah dia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru, karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat.’” [6]
[5]. Perawi hadits adalah Irbadh bin Sariyah Abu Najih as-Salimi, beliau termasuk ahli Suffah, tinggal di Himsha setelah penaklukan Makkah, tentang wafatnya ahli sejarah berbeda pendapat, ada yang mengatakan tatkala peristiwa Ibnu Zubair, adapula yang mengatakan tahun 75 H. Lihat al-Ishabah (II/473 no. 5501).
[6]. HR. Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud (no. 4607) dan at-Tirmidzi (no. 2676), ad-Darimy (I/44), al-Baghawy dalam kitabnya Syarhus Sunnah (I/205), al-Hakim (I/95), dishahihkan dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi, dan Syaikh al-Albany menshahihkan juga hadits ini.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang akan terjadinya perpecahan dan perselisihan pada ummat-nya, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mem-berikan jalan keluar untuk selamat dunia dan akhirat, yaitu dengan mengikuti Sunnahnya dan sunnah para Shahabatnya ridhwanullaahu ‘alaihim jami’an. Hal ini menunjukkan tentang wajibnya mengikuti Sunnahnya (Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan sunnah para Shahabatnya ridhwanullahu ‘alaihim jami’an.
Kemudian dalam hadits yang lain, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang hadits iftiraq (akan terpecahnya ummat ini menjadi 73 golongan):
“Artinya : Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahlul Kitab telah berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan sesungguhnya agama ini (Islam) akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan tempatnya di dalam Neraka dan satu golongan di dalam Surga, yaitu al-Jama’ah.” [7]
[7]. HR. Abu Dawud (no. 4597), Ahmad (IV/102), al-Hakim (I/128), ad-Darimy (II/241), al-Aajury dalam asy-Asyari’ah, al-Laalikaa’iy dalam as-Sunnah (I/113 no.150). Dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan hadits ini shahih masyhur. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albany. Lihat Silsilatul Ahaadits Shahihah (no. 203 dan 204).
Dalam riwayat lain disebutkan:
“Artinya : Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para Shahabatku berjalan di atasnya.” [8]
[8]. HR. At-Tirmidzi (no. 2641) dari Shahabat ‘Abdullah bin Amr, dan di-hasan-kan oleh Syaikh al-Albany dalam Shahihul Jami’ (no. 5343). Lihat Dar-ul Irtiyaab ‘an Hadits Ma Ana ‘Alaihi wa Ash-habii oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaaly, cet. Daarul Raayah, 1410 H, sebagaimana juga telah saya terangkan panjang lebar mengenai hadits Iftiraqul Ummah sebelum ini, walhamdulillah.
Hadits iftiraq tersebut juga menunjukkan bahwa ummat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan, semua binasa kecuali satu golongan yaitu yang mengikuti apa yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya ridhwanullahu ‘alaihim jami’an. Jadi jalan selamat itu hanya satu, yaitu mengikuti al-Qur-an dan as-Sunnah menurut pemahaman Salafus Shalih (para Shahabat).
Hadits di atas menunjukkan bahwa, setiap orang yang mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya adalah termasuk ke dalam al-Firqatun Najiyah (golongan yang selamat). Sedangkan yang menyelisihi (tidak mengikuti) para Shahabat, maka mereka adalah golongan yang binasa dan akan mendapat ancaman de-ngan masuk ke dalam Neraka.

http://ghulamzuhri.wordpress.com/category/bab-ii-manhaj/

0 komentar:

Posting Komentar