Para ulama Ahlus sunnah adalah sebaik-baik teladan dalam semangat mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai dalam masalah yang sekecil-kecilnya, dan karena inilah Allah Ta’ala memuliakan mereka.
Sampai-sampai imam Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri dalam ucapannya yang terkenal pernah berkata, “Kalau kamu mampu untuk tidak menggaruk kepalamu kecuali dengan (mencontoh) sunnah (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka lakukanlah!”
Imam ‘Amr bin Qais al-Mula’i, “Kalau sampai kepadamu suatu kebaikan (dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka amalkanlah, meskipun hanya sekali, supaya kamu termasuk orang-orang yang mengerjakannya”
Bahkan semangat dalam mengamalkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam inilah yang menjadi ukuran kebaikan seorang muslim menurut para ulama tersebut.
Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari berkata, “Orang muslim yang paling utama adalah orang yang menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah ditinggalkan (manusia), maka bersabarlah wahai para pencinta sunnah (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), karena sesungguhnya kalian adalah orang yang paling sedikit jumlahnya (di kalangan manusia)”
Oleh karena itulah, para ulama Ahlus sunnah sangat mengagungkan dan memuji orang yang semangat menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pujian yang setinggi-tingginya.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata
, “Muhammad bin Aslam ath-Thuusi adalah seorang imam yang disepakati keimamannya (oleh para ulama Ahlus sunnah) dan sangat tinggi kedudukannya. Bersamaan dengan itu, beliau adalah orang yang paling semangat mengikuti sunnah (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) di zamannya. Sampai-sampai beliau mengatakan: “Tidaklah sampai kepadaku satu sunnah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali aku selalu mengamalkannya…”. Maka (ketika) seorang ulama Ahlus sunnah di jamannya ditanya tentang (arti) as-sawaadul a’zham (kelompok terbesar/Ahlus sunnah), yang disebutkan dalam hadits “Kalau orang-orang berselisih (pendapat dalam agama) maka hendaknya kalian mengikuti as-sawaadul a’zham“, ulama tersebut menjawab: “Muhammad bin Aslam ath-Thuusi dialah as-sawaadul a’zham“.
Kemudian Ibnul Qayyim berkata, “Demi Allah, benar (ucapan ulama tersebut), karena sesungguhnya jika pada suatu zaman, ada seorang yang memahami sunnah (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), (mengamalkannya) dan menyeru (manusia) untuk mengikutinya, maka dialah hujjah (argumentasi penegak kebenaran di jamannya), dialah ijma’ (kesepakatan/konsensus para ulama Ahlus sunnah), dialah as-sawaadul a’zham (kelompok terbesar/Ahlus sunnah), dan dialah sabilul mu’minin (jalannya orang-orang yang beriman), yang barangsiapa memisahkan diri darinya dan mengikuti selainnya, maka Allah akan membiarkan dia (dalam kesesatan) yang diinginkannya dan Allah akan masukkan dia ke dalam neraka Jahannam, dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali”
Senada dengan ucapan di atas, imam Ahmad bin Hambal berkata, “Tidaklah aku menulis sebuah hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali aku telah mengamalkannya, sehingga ketika sampai kepadaku hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbekam dan memberikan (upah) satu dinar kepada Abu Thaibah (tukang bekam), maka ketika aku berbekam aku memberikan (upah) satu dirham kepada tukang bekam”
Bahkan para ulama Ahlus sunnah, jika mereka mendapati satu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang belum mereka ketahui dan amalkan sebelumnya, maka mereka menganggap itu adalah sebuah kerugian dan musibah besar yang menimpa mereka. Sebagaimana yang terjadi pada imam Ahmad bin Hambal, ketika dia mendengar satu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang belum sampai kepada beliau sebelumnya, beliau mengatakan: “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun (zikir yang diucapkan ketika ditimpa musibah), satu sunnah dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam belum sampai kepadaku (sebelum ini)?” Muslim.OrId’
0 komentar:
Posting Komentar