Oleh Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A.
(makalah kultum tarawih di Masjid Agung Daarussalam Purbalingga).
Antara naik bus dan berumah tangga
Penulis yakin bahwa para pembaca sekalian pernah menaiki bus. Dan tentu masing-masing memiliki pengalaman yang berbeda. Mungkin ada yang pernah menaiki bus yang dikemudikan oleh supir yang ugal-ugalan, targetnya hanya mengejar setoran, tanpa memperhatikan keselamatan. Tentu saat itu Anda dipaksa untuk sport jantung, sembari tidak lupa untuk membasahi lisan dengan kalimat tahlil, sebagai bentuk persiapan jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Namun sebagai penumpang yang baik, tidak cukup hanya itu saja yang dilakukan. Anda perlu menegur sang sopir, supaya Anda-dan juga dia-tidak menjadi korban kecelakaan.Selain itu tentu ada juga pengalaman indah, saat Anda disopiri oleh pengemudi yang santun dan mahir. Rasanya nikmat sekali perjalanan, hingga penumpang satu bus, termasuk Anda, terkantuk-kantuk. Akibatnya sopirnya pun tertular hawa kantuk. Dalam kondisi nyaman seperti ini pun, jika Anda tidak berperan aktif mengingatkan pak sopir, bisa jadi kenikmatan berkendaraan akan berbalik menjadi malapetaka yang mengerikan.
Begitulah ilustrasi tentang pentingnya kerjasama yang apik antara berbagai pihak yang berkepentingan, untuk meraih sebuah tujuan.Rumah tangga juga mirip seperti kendaraan. Ada sopirnya; yakni suami, dan ada pula penumpangnya; yakni istri serta anak-anak. Keberhasilan mahligai rumah tangga bukan hanya ditentukan oleh sang nahkoda, namun harus ada peran aktif dari para anggota keluarga. Kesuksesan itu dinilai dari keberhasilan seluruh peserta rumah tangga untuk mencapai tujuan di terminal akhir.Terminal pemberhentian terakhir tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah peristirahatan di negeri keabadian; surga Allah ta’ala. Di dalam al-Qur’an disebutkan,
“فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ”
Artinya: “Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke surga; sungguh dia telah meraih kesuksesan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya”. QS. Ali Imran (3): 185.
Inilah barometer kesuksesan hakiki; selamat dari siksa neraka dan berhasil masuk surga. Kesuksesan sebenarnya berumah tangga bukan dinilai dari keberhasilan menempati rumah megah, menaiki mobil mewah atau menjadi tuan tanah. Walaupun bukan berarti itu semua haram didapat, terlebih bila dengan jalan yang halal. Namun yang perlu dipahami bahwa kesuksesan hakiki berumah tangga bukanlah dinilai dari itu semua. Tapi dilihat dari keberhasilan seluruh anggota keluarga untuk masuk ke dalam surga kelak!
Gotong royong berumah tangga
Jika tujuan utama keluarga muslim adalah meraih surga bersama, tentu itu bukanlah target yang ringan. Harus ada taufik dari Allah ta’ala dan perlu adanya kerja sama yang baik antara seluruh anggota keluarga; komandan, wakil komandan dan para prajuritnya.
Semuanya harus menjadi team work yang saling bahu membahu. Poin-poin berikut semoga bisa membantu kita untuk mewujudkan tim ideal dambaan tersebut, amien.
1. Saling memahami kelebihan dan kekurangan[1]
Tidak ada manusia biasa yang sempurna di muka bumi ini. Semuanya, selain mempunyai kelebihan, tentu juga memiliki kekurangan.
Sebelum menikah, sah-sah saja Anda sebagai calon suami membayangkan bahwa pasangan hidup Anda cantik rupawan, bangsawan, kaya-raya, patuh, pandai mengurus rumah, penyayang, tanggap, sabar, dan berbagai gambaran indah lainnya.
Sebaliknya, sebagai calon istri, Anda juga berhak untuk mendambakan pasangan hidup yang tampan, gagah, kaya raya, pandai, berkedudukan tinggi, penuh perhatian, setia, penyantun, dermawan, dan lain sebagainya.
Itulah impian indah di benak Anda dahulu. Terwujudkah seluruh angan-angan tersebut? Ataukah impian tinggal impian? Kalaupun seluruh kriteria ideal di atas berhasil Anda temukan dalam pasangan Anda, maka bersyukurlah kepada Allah atas kesuksesan Anda berpasangan dengan manusia langka. Namun penulis haqqul yaqin bahwa kebanyakan orang tidaklah menemukan mimpi itu dalam alam nyata.
Jika demikian kenyataannya, tidak ada gunanya kita meratapi nasib tersebut. Karena untuk mencari pengganti lain pun, nantinya Anda akan mendapati ternyata pasangan baru Anda pun juga memiliki kekurangan.
Maka langkah yang bijak untuk menjaga keharmonisan rumah tangga adalah, saling memahami kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kelebihan suami digunakan untuk melengkapi kekurangan istri. Begitu pula sebaliknya, kelebihan istri dimanfaatkan untuk menutupi kekurangan suami. Sambil masing-masing berusaha untuk memperbaiki kekurangan dirinya.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengingatkan,
“لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ”
“Tidak pantas bagi lelaki yang beriman untuk meremehkan wanita yang beriman. Bila ia tidak menyukai satu perangai darinya, pasti ia puas dengan perangainya yang lain”. HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.
Anda kecewa karena istri Anda kurang pandai memasak? Tidak perlu khawatir, karena ternyata istri Anda adalah seorang wanita penyayang.
Anda kurang puas dengan istri Anda yang kurang pandai mengurus rumah dan kurang sabar? Tidak usah berkecil hati, karena ia begitu cantik rupawan.
Anda berkecil hati karena istri Anda kurang cantik? Segera besarkan hati, karena ternyata sang istri subur sehingga Anda mendapatkan karunia keturunan yang salih dan salihah. Coba Anda bayangkan, betapa besar kesedihan Anda bila menikahi wanita cantik akan tetapi mandul.
Demikianlah seterusnya…
Tidak etis dan tidak manusiawi bila Anda hanya pandai mengorek kekurangan istri, namun Anda tidak mahir dalam menemukan kelebihan-kelebihannya. Buktikan Saudaraku, bahwa Anda benar-benar seorang suami yang berjiwa besar, sehingga Anda peka dan lihai dalam membaca kelebihan pasangan. Temukan berbagai kelebihan padanya, dan selanjutnya tersenyumlah, karena ternyata istri Anda memiliki banyak kelebihan.
Begitu pula sebaliknya, Anda wahai para istri, harus bersikap sama. Besarkan hatimu, bahwa pada pasangan hidup Anda ternyata terdapat banyak kelebihan.
Bila selama ini, Anda ciut hati karena suami Anda miskin harta, maka tidak perlu khawatir, karena ia penuh dengan perhatian dan tanggung jawab.
Bila selama ini, Anda kecewa karena suami Anda ternyata kurang tampan, maka percayalah bahwa ia setia dan bertanggung jawab.
Andai selama ini, Anda kurang puas karena suami Anda kurang perhatian dengan urusan dalam rumah, tetapi ia begitu membanggakan dalam urusan luar rumah.
Juga, andai selama ini, sikap suami Anda terhadap Anda kurang simpatik, maka tidak perlu hanyut dalam duka dan kekecawaan, karena ia masih punya jasa baik yang tidak ternilai dengan harta. Ternyata, selama ini, suami Anda telah menjaga kehormatan Anda, menjadi penyebab Anda merasakan kebahagiaan menimang putra-putri Anda.
Saudariku, Anda tidak perlu hanyut dalam kekecewaan karena suatu hal yang ada pada diri suami Anda. Betapa banyak kelebihan-kelebihan yang ada padanya. Berbahagia dan nikmatilah kedamaian hidup rumah tangga bersamanya.
Berlarut-larut dalam kekecewaan terhadap suatu perangai suami, dapat menghancurkan segala keindahan dalam rumah tangga Anda. Bukan hanya hancur di dunia, bahkan berkelanjutan hingga di akhirat kelak.
Saudariku, simaklah peringatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini. Agar anda dapat menjadikan bahtera rumah tangga Anda seindah dambaan.
“أُرِيتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ، قِيلَ: أَيَكْفُرْنَ بِاللَّهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ، وَيَكْفُرْنَ الإِحْسَانَ، لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا، قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ”
“Aku diberi kesempatan untuk menengok ke dalam neraka, dan ternyata kebanyakan penghuninya ialah para wanita, akibat ulah mereka yang selalu kufur/ingkar.” Spontan, para sahabat bertanya, “Apakah yang engkau maksud adalah mereka kufur/ingkar kepada Allah?” Beliau menjawab, “Mereka terbiasa ingkar terhadap suami, dan ingkar terhadap jasa baik. Andai engkau berbuat baik kepadanya seumur hidupmu, lalu ia mendapatkan suatu hal (yang tidak mengenakkan) padamu, niscaya mereka begitu mudah berkata, ‘Aku tidak pernah mendapatkan kebaikan sedikit pun darimu.’” HR. Bukhari dan Muslim.
Demikianlah caranya agar Anda dapat senantiasa puas dan bangga dengan pasangan hidup Anda. Anda selalu dapat merasa bahwa ladang Anda tampak hijau, sehijau ladang tetangga, dan bahkan lebih hijau lagi!
Perbaiki diri!
Seluruh keterangan di atas tentu bukan dalam rangka untuk membiarkan kekurangan masing-masing, tanpa ada upaya untuk memperbaiki diri.
Namun satu hal yang perlu untuk selalu diingat, bahwa perbaikan itu membutuhkan proses. Menunggu keberhasilan sebuah proses itulah yang membutuhkan kesabaran dan kebesaran jiwa. Juga memerlukan dukungan dan usaha tanpa henti dari kedua belah pihak.
2. Saling menunaikan hak dan kewajiban
Inilah kunci kesuksesan berikutnya dalam membina rumah tangga. Bahwa masing-masing pasangan sebagaimana memiliki hak, ia pun memiliki kewajiban. Maka jangan sampai hanya menuntut haknya saja, lalu melupakan kewajibannya.
Hak pasangan Anda setimpal dengan kewajiban yang ia tunaikan kepada Anda. Semakin banyak Anda menuntut hak Anda, maka semakin banyak pula kewajiban yang harus Anda tunaikan untuknya.
Allah ta’ala berfirman,
“وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ”
“Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi, para suami mempunyai kelebihan satu tingkat daripada istrinya”. QS. Al-Baqarah (2): 228.
Suami berkewajiban untuk memberikan nafkah lahir dan batin kepada istrinya. Seperti sandang, pangan, papan, keamanan dan yang semisal.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengingatkan,
“أَلاَ إِنَّ لَكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ حَقًّا، وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا، فَأَمَّا حَقُّكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ فَلاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُونَ، وَلاَ يَأْذَنَّ فِي بُيُوتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُونَ، أَلاَ وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوا إِلَيْهِنَّ فِي كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ”
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya kalian memiliki hak atas istri kalian, sebagaimana istri kalian memiliki hak atas kalian. Adapun hak kalian atas istri kalian, mereka tidak diperkenankan untuk berbincang-bincang dengan orang yang tidak kalian sukai dan membiarkan orang lain yang tidak kalian sukai untuk memasuki rumahmu. Adapun hak mereka atas kalian adalah: kalian berbuat baik kepada mereka dalam sandang dan pangan”. HR. Tirmidzy dan dinilai hasan sahih oleh beliau.
Sebaliknya istri memiliki kewajiban untuk mentaati suaminya dalam sesuatu yang baik, melayaninya, menjaga kehormatannya dan lain-lain.
Ketaatan kepada suami adalah merupakan kewajiban istri yang paling utama. Yang akan mengantarkannya ke surga. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan,
“إِذَا صَلَّتْ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا؛ قِيلَ لَهَا ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ”.
“Jika seorang wanita menunaikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya; niscaya akan dikatakan padanya: “Masuklah ke dalam surga dari pintu manapun yang kau mau”. HR. Ahmad dari Abdurrahman bin ‘Auf dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albany.
Jadi seorang istri harus mentaati perintah suaminya, terlebih dalam hal-hal yang sudah menjadi kewajibannya. Seperti melayani suami dalam masalah makan, minum, urusan ‘kasur’ dan yang semisalnya.
Tapi wajib untuk diketahui oleh para istri, bahwa ketaatannya kepada suami hanyalah dalam perkara-perkara yang diizinkan syariat. Maka, apabila sang suami memerintahkannya untuk melakukan hal-hal yang dilarang syariat, sang istri tidak boleh mentaatinya, dengan dalih apapun.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menegaskan,
“لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ”
“Tidak boleh bagi seseorang untuk taat kepada seorang makhluk dalam bermaksiat kepada Allah”. HR. Ahmad dari Ali bin Abi Thalib dan dinilai sahih oleh al-Albany.
3. Saling bahu membahu
Poin ini tidak kalah penting dibanding poin-poin sebelumnya. Walaupun suami dan istri sudah memiliki kewajiban yang jelas, namun amat elok jika masing-masing membantu pasangannya dalam pekerjaannya, sesuai dengan aturan yang digariskan agama.
Misalnya, secara hukum asal, urusan dapur, kasur, sumur dan tetek bengeknya memang merupakan kewajiban istri. Namun, meskipun demikian, akan sangat indah bila suami ikut membantu istrinya dalam tugas tersebut.
Panutan kita; Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam pun ikut turun tangan membantu pekerjaan para istrinya. Ini menunjukkan betapa tingginya kemuliaan akhlak yang beliau miliki. Juga menjelaskan urgensi hal tersebut untuk menjaga keharmonisan rumah tangga.
عَنْ عُرْوَةَ قَالَ قُلْتُ لِعَائِشَةَ: “يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ أي شَيْءٌ كَانَ يَصْنَعُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ عِنْدَكِ؟” قَالَتْ: “مَا يَفْعَلُ أَحَدُكُمْ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيُخِيْطُ ثَوْبَهُ وَيَرْفَعُ دَلْوَهُ”
Urwah bertanya kepada Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam tatkala bersamamu (di rumahmu)?” Aisyah menjawab, “Beliau melakukan seperti apa yang dilakukan salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya. Beliau mengesol sandalnya, menjahit bajunya dan mengangkat air di ember”. HR. Ibnu Hibban dan dinyatakan sahih oleh al-Albany.
Begitu pula dalam hal mendidik anak, perlu adanya kekompakan untuk menggapai keberhasilan. Tidak boleh terjadi adanya saling lempar tanggung jawab. Justru masing-masing berusaha berandil dan bersinergi di dalamnya. Ayah biasanya identik dengan kewibawaan dan ketegasannya. Sedangkan ibu identik dengan kasih sayang dan kelemahlembutannya. Alangkah indahnya manakala dua potensi tersebut dipadupadankan!
Selain itu, orang tua juga harus memiliki kata sepakat dalam mendidik anak-anaknya. Anak dapat dengan mudah menangkap rasa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan bagi dirinya. Misal, seorang ibu melarang anaknya menonton TV dan memintanya untuk mengerjakan PR. Namun pada saat yang bersamaan, si bapak membela si anak dengan dalih tidak mengapa nonton TV terus agar anak tidak stres. Jika hal ini terjadi, anak akan menilai ibunya jahat dan bapaknya baik. Akibatnya setiap kali ibunya memberi perintah, ia akan mulai melawan dengan berlindung di balik pembelaan bapaknya. Demikian juga pada kasus sebaliknya.
Oleh karena itu, orang tua harus kompak dalam mendidik anak. Usahakan di hadapan anak, jangan sampai berbeda pendapat untuk hal-hal yang berhubungan langsung dengan persoalan mendidik anak. Pada saat salah satu dari kita sedang mendidik anak, maka pasangan kita harus mendukungnya. Contoh, ketika si ibu mendidik anaknya untuk berlaku baik terhadap si kakak, dan si ayah mengatakan,”Kakak juga sih yang mulai duluan buat gara-gara…”. Idealnya, si ayah mendukung pernyataan, “Betul kata ibu, dik. Kakak juga perlu kamu sayang dan hormati….”
4. Saling menasehati
Timbulnya riak-riak dalam kehidupan rumah tangga merupakan suatu hal yang lumrah. Namun, jika hal itu sampai mengotori keharmonisan jalinan kasih sayang antara suami dan istri, atau bahkan menghancurkan bahtera pernikahan, tentulah sangat berbahaya.
Agar mimpi buruk itu tidak terjadi, seyogyanya ditumbuhkan budaya saling memahami dan kebiasaan saling menasehati antara suami dan istri.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam berpesan,
“أَلاَ وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا”.
“Ingatlah, hendaknya kalian berwasiat yang baik kepada para istri”. HR. Tirmidzi dan dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani.
Daripada itu, benih-benih kesalahan yang ada dalam diri pasangan suami-istri hendaknya tidaklah didiamkan begitu saja hanya karena dalih menjaga keharmonisan rumah tangga. Justru sebaliknya, kesalahan-kesalahan itu harus segera diluruskan. Dan tentunya hal itu harus dilakukan dengan cara yang elegan: tutur kata yang lembut, raut muka yang manis dan metode yang tidak menyakiti hati pasangan.
Istri yang salihah akan senantiasa membantu suami dalam menaati Allah ta’ala, begitu pula sebaliknya, suami yang salih. Keduanya saling bahu membahu dan nasehat-menasehati untuk meraih ridha Allah dan surga-Nya.
Alangkah indahnya jika hadits nabawi berikut diterapkan dalam rumah tangga kita:
“رَحِمَ اللَّهُ رَجُلًا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ، فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِي وَجْهِهَا الْمَاءَ. رَحِمَ اللَّهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا، فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِي وَجْهِهِ الْمَاءَ”.
“Semoga Allah merahmati seorang suami yang bangun pada malam hari untuk mengerjakan shalat malam, lalu membangunkan istrinya. Bila si istri enggan, ia memercikkan air ke wajahnya. Semoga Allah merahmati pula seorang istri yang bangun di malam hari untuk melakukan shalat malam, lalu membangunkan suaminya. Bila si suami enggan, ia memercikkan air ke wajah suaminya”. HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Al-Hakim, Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibban menilainya sahih.
Semua berhak menasehati!
Jadi yang berhak menyampaikan nasehat bukan hanya kepala rumah tangga. Namun ‘bawahannya’ pun, yakni istri dan anak-anak, juga berhak untuk memberikan nasehat. Sebab semuanya berpeluang untuk melakukan kesalahan.
Di sinilah dituntut adanya kebesaran jiwa untuk menerima nasehat, terutama dari yang berposisi di atas, yakni sang suami.
Semoga tulisan singkat ini bermanfaat!
@ Pesantren “Tunas Ilmu” Purbalingga, 12 Ramadhan 1434 / 21 Juli 2013
[1] Poin pertama ini penulis adaptasi dengan bebas dari makalah Ust Dr. M. Arifin Badri yang berjudul “Istriku Bukan Bidadari, Tapi Aku Pun Bukan Malaikat”, yang termuat dalam website pengusahamuslim.com dan muslimah.or.id
0 komentar:
Posting Komentar