Ikhwan A : “Antum shalat tarawihnya dimana?”
Ikhwan B : “Ana shalatnya di masjid dekat rumah ana.”
Ikhwan A : “Itu kan jumlahnya 23 rakaat?!”
Ikhwan B : “Iya 23 rakaat, emang kenapa?”
Ikhwan A : “Shalat Tarawihnya gak nyunnah!…gak ada dalilnya… Antum koq mau saja shalat tarawihnya disitu?”
Ikhwan B : “Kalau antum shalatnya dimana? Memangnya di daerah kita ada masjid yang shalatnya 11 rakaat?”
Ikhwan A : “Ana shalat tarawihnya di rumah, biar bisa shalat 11 rakaat.”
Ikhwan B : “Justru shalat tarawih yang sendirian itu (di rumah) yang tidak nyunnah. Bukankah shalat tarawih itu sunnahnya dikerjakan secara berjamaah di masjid?? Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Orang yang shalat tarawih mengikuti imam sampai selesai, ditulis baginya pahala shalat semalam suntuk” (HR. At Tirmidzi, no. 734, Ibnu Majah, no. 1317, Ahmad, no. 20450)”
Ikhwan A : “soalnya di daerah kita tidak ada masjid yang shalatnya 11 rakaat. Lagipula dulu Rasulullah shalat tarawih berjamaahnya hanya diawal bulan dan di akhir bulan saja, seterusnya beliau shalat di rumah sendirian.”
Ikhwan B : “Rasulullah shalat di rumah sendirian karena ada alasannya seperti yang disebutkan dalam hadits, yaitu khawatir shalat tarawih akan diwajibkan untuk umatnya. Seperti sabda beliau shalallahu alaihi wasallam: ‘…Namun aku khawatir kalau shalat itu akhirnya menjadi wajib atas diri kalian sehingga kalian tak sanggup melakukannya.’ (HR: Bukhari dan Muslim). Lagipula shalat tarawih berjamaah mulai rutin dilakukan atas ijtihadnya Umar bin al Khaththab, bukankan Umar adalah Khulafaur Rasyidin, dan ijtihadnya Khulafaur Rasyidin juga termasuk Sunnah?? Seperti disabda beliau, ‘…Maka, hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para khulafaur-rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4607; At-Tirmidzi no. 2676; Ahmad 4/126-127;)”
Ikhwan A : “Iya…ana tahu kalau shalat tarawih berjamaah itu adalah sunnah, tapi yang jadi permasalahan sekarang ini adalah jumlah bilangannya. Daripada ana shalat 23 rakaat yang tidak ada sunnahnya, lebih baik ana shalat sendirian dengan 11 rakaat biar sesuai sunnah. Seandainya ada masjid di daerah kita yang 11 rakaat, ana pasti akan shalat berjamaah disitu, tapi buktinya belum ada masjid yang shalatnya 11 rakaat. Bagaimana donk??”
Ikhwan B : “Memang benar bahwa shalat tarawih 11 rakaat itu sunnah, tapi shalat dengan jumlah 23 rakaat itu juga dibolehkan.”
Ikhwan A : “Kalau shalat 23 rakaat itu dibolehkan, mana dalilnya?”
Ikhwan B : “Dalilnya, Umar pernah shalat tarawih 23 rakaat. Riwayat ini dishahihkan oleh Imam AlNawawi, Al Zaila’i, Al Aini, Ibn Al Iraqi, Al Subkhi, As Suyuthi, Syaikh Abdul Aziz bin Bazz, dan lain-lain.”
Ikhwan A : “Ana mintanya dalil dari Rasulullah. Apakah Rasulullah pernah shalat tarawih 23 rakaat.”
Ikhwan B : “Hmm…memang Rasulullah tidak pernah shalat tarawih dengan 23 rakaat, karena hadits2 tentang tarawihnya Nabi sebanyak 23 rakaat tidak ada yang shahih.”
Ikhwan A : “Nah kalau Nabi tidak pernah shalat tarawih 23 rakaat, lantas kenapa antum membolehkan shalat tarawih 23 rakaat?”
Ikhwan B : “Karena hukum asalnya shalat tarawih itu tidak dibatasi bilangannya. Seperti hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhuma, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam: ‘Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat. Jika engkau khawatir akan datangnya fajar maka shalatlah 1 rakaat agar jumlah rakaatnya ganjil’. (Muttafaqun ‘ilaihi). Hadits ini mutlak menjelaskan bahwa bilangan shalat malam itu tidak dibatasi, berapa saja dibolehkan, selama belum masuk waktu fajar. Makanya Umar dan para Salaf melakukan shalat tarawih dengan bilangan yang bermacam-macam.”
Ikhwan A : “Mana yang lebih baik, yang dilakukan Nabi atau yang dilakukan oleh Umar atau orang lain?”
Ikhwan B : “Jelas yang lebih baik adalah yang dilakukan Nabi shalallahu alaihi wasallam.”
Ikhwan A : “Kalau yang dilakukan Nabi adalah lebih baik, ya sudah…cukup shalat tarawih dengan 11 rakaat, tidak perlu ditambah-tambah. Padahal dalam hadits ‘Aisyah sudah jelas disebutkan, ia ditanya oleh Abu Salamah Abdur Rahman tentang qiyamul lailnya Rasul pada bulan Ramadhan, ia menjawab: ”Sesungguhnya beliau tidak pernah menambah pada bulan Ramadhan, atau pada bulan lainnya. lebih dari sebelas raka’at. (HR Bukhari, Muslim).”
Ikhwan B : “Baiklah…ana mau tanya…antum shalat tarawih di rumah berapa lama? dan kira-kira selesai jam berapa shalatnya?”
Ikhwan A : “Ana shalat tarawih 11 rakaat lamanya sekitar 1 jam. Paling-paling selesai shalatnya sekitar jam 20.30 atau jam 21.00 malam.”
Ikhwan B : “Kalau dilihat dari dalil, shalat yang antum lakukan juga tidak sesuai dengan yang Nabi lakukan, karena Nabi shalallahu alaihi wasallam tidak pernah shalat malam (tarawih) secepat itu. Nabi shalat tarawih 11 rakaat dengan membaca bacaan yang panjang, sehingga selesai shalatnya hampir menjelang waktu sahur. Dalilnya antara lain:
Hadits Nu’man bin Basyir, ia berkata: “Kami melaksanakan qiyamul lail (tarawih) bersama Rasulullah pada malam 23 bulan Ramadhan, sampai sepertiga malam. Kemudian kami shalat lagi bersama beliau pada malam 25 Ramadhan (berakhir) sampai separoh malam. Kemudian beliau memimpin lagi pada malam 27 Ramadhan sampai kami menyangka tidak akan sempat mendapati sahur.” (HR. Nasa’i, Ahmad, Al Hakim. (hadits ini) shahih).
Hadits Abu Dzar,ia berkata: “…Maka beliau memimpin kami shalat pada malam ketiga. Beliau mengajak keluarga dan istrinya. Beliau mengimami sampai kami khawatir tidak mendapat falah. Saya (perawi) bertanya, apa itu falah? Dia (Abu Dzar) berkata, “Sahur.”(HR Nasai, Tirmidzi, Ibn Majah, AbuDaud, Ahmad. (hadits ini) shahih).”
Ikhwan A : “Tapi bukankah dibolehkan juga shalat malam dengan bacaan yang pendek atau singkat?!”
Ikhwan B : “Iya… Walaupun Nabi shalat tarawihnya dengan bacaan yang panjang dan selesainya hampir menjelang sahur, namun dibolehkan juga shalat tarawih dengan bacaan yang pendek. Begitu juga dengan shalat tarawih 23 rakaat. Walaupun Nabi shalatnya 11 rakaat, namun dibolehkan juga shalat tarawih dengan 23 rakaat atau lebih dari itu, karena hukum asalnya tidak dibatasi bilangannya. Apalagi hadits tentang shalat tarawihnya Nabi yang 11 rakaat bukan merupakan perintah dari Nabi, melainkan hanya perbuatan Nabi saja yang tidak menunjukkan makna wajib.
Imam Syafi’i berkata mengenai jumlah bilangan shalat tarawih, setelah meriwayatkan shalat di Mekkah 23 raka’at dan di Madinah 39 raka’at berkomentar, “Seandainya mereka memanjangkan bacaan dan menyedikitkan bilangan sujudnya, maka itu bagus. Dan seandainya mereka memperbanyak sujud dan meringankan bacaan, maka itu juga bagus; tetapi yang pertama lebih aku sukai.” (Fathul Bari, 4/253).
Ibn Hibban (wafat 354 H) berkata, “Sesungguhnya tarawih itu pada mulanya adalah 11 raka’at dengan bacaan yang sangat panjang hingga memberatkan mereka. Kemudian mereka meringankan bacaan dan menambah bilangan raka’at, menjadi 23 raka’at dengan bacaan sedang. Setelah itu mereka meringankan bacaan dan menjadikan tarawih dalam 36 raka’at tanpa witr.” (Fiqhus Sunnah, 1/174)
Ibn Taimiyah berkata, “Ia boleh shalat tarawih 20 raka’at sebagaimana yang mashur dalam madzhab Ahmad dan Syafi’i. Boleh shalat 36 raka’at sebagaimana yang ada dalam madzhab Malik. Boleh shalat 11 raka’at, 13 raka’at. Semuanya baik. Jadi banyaknya raka’at atau’ sedikitnya tergantung lamanya bacaan dan pendeknya.”(Majmu’ Al Fatawa, 23/113)
Ikhwan A : “Hmm…..”
Ikhwan B : “Bukankah seseorang yang bermanhaj Salaf seperti kita -insya Allah- hendaknya memahami dalil sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih? Jika makna hadits ‘Aisyah yang antum sebutkan tadi maknanya seperti yang antum pahami (tidak boleh shalat tarawih lebih dari 11 atau 13 rakaat), niscaya para Salafush Shalih tidak akan ada yang berani menambahkan bilangan shalat tarawih lebih dari 11 atau 13 rakaat. Namun kenyataannya mereka semua (Salafush Shalih) banyak yang menambahkan bilangan shalat tarawih, ada yang 23 rakaat, 29 rakaat, 39 rakaat, 41 rakaat, 49 rakaat, dll. Berarti yang salah dalam memahami hadits ‘Aisyah tersebut mereka (Salafush Shalih) atau antum atau ustadz antum?”
Ikhwan A : “Hmmm….baiklah…antum benar insya Allah…Tapi jika ana shalat tarawih di masjid yang 23 rakaat, bolehkah ketika Imam sudah masuk rakaat ke 8 atau ke 10 maka ana pulang ke rumah untuk meneruskannya di rumah, agar ana tetap bisa shalat tarawih 11 rakaat??”
Ikhwan B : “Ini menyangkut perkara boleh atau tidaknya. Ana katakan hal itu adalah boleh saja…bahkan seandainya antum tidak shalat tarawih sama sekali, maka itu juga boleh karena hukum shalat tarawih hanyalah sunnah (tidak wajib), namun antum tidak mendapatkan keutamaan (sunnah) dari shalat tarawih. Begitu juga jika antum pulang ke rumah jika Imam sudah masuk bilangan ke 8 atau ke 10 rakaat, maka hal itu boleh, tapi….”
Ikhwan A : “Tapi apa?”
Ikhwan B : “…Tapi antum tidak mendapatkan keutamaan seperti yang disebutkan dalam hadits yang ana sebutkan sebelumnya, yaitu: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Orang yang shalat tarawih mengikuti imam sampai selesai, ditulis baginya pahala shalat semalam suntuk” (HR. At Tirmidzi, no. 734, Ibnu Majah, no. 1317, Ahmad, no. 20450). Berhubung antum pulang ke rumah sebelum shalat selesai dan tidak mengikuti Imam sampai selesai shalat, maka antum tidak mendapat keutamaan hadits tersebut (yaitu ditulis baginya pahala shalat semalam suntuk). Wallahu a’lam.”
=== SELESAI ===
(Ket: Dialog ini hanya rekaan)
Oleh Abu Fahd Negara Tauhid
Sumber: https://www.facebook.com/negara.tauhid/posts/2335550365527?notif_t=feed_comment_reply
0 komentar:
Posting Komentar