Sabtu, 23 November 2013

Membongkar Kedok Sufisme di Hadramaut



Oleh : Syaikh Ali Ba Bakar bin Yahya

Diberi kata pengantar oleh :
1. Asy-Syaikh Alwi bin Abdul Qodir As-Segaf
2. Asy-Syaikh Abu Bakar bin Haddar Al-Haddar
3. Asy-Syaikh Shalih bin Bekhit Maula Dawilah
Cetakan pertama 1426 H / 2005 M

[Mereka semua Alul Bait dari keturunan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu].
Muqaddimah
Oleh : Asy-Syaikh Alwi bin Abdul Qodir As-Segaf

Segala puja dan puji hanya milik Allah Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita, penghulu kita, kekasih kita dan penyejuk pandangan kita Muhammad bin Abdillah, yang telah bersabda : (yang artinya)

“Barangsiapa mengada-ada (sesuatu yang baru) dalam urusan kami ini yang bukan darinya maka (sesuatu yang beru yang diada-adakannya) itu tertolak.”
Yang juga telah bersabda : (yang artinya)
“Sesungguhnya aku meninggalkan kalian di atas (jalan) yang putih, malamnya sama dengan siangnya, tiada yang menyimpang darinya sepeninggalku kecuali orang binasa.”

“Dan barangsiapa yang hidup diantara kamu dia akan melihat perbedaan yang banyak. Maka hendaklah kalian (berpegang teguh) dengan apa yang kalian ketahui dari sunnahku dan sunnah para khalifah yang berjalan diatas petunjuk yang mana mereka mendapat petunjuk, gigitlah (sunnahku dan sunnah pada khulafa’ itu) dengan geraham-geraham (kalian).”

(Demikian pula semoga shalawat dan salam itu) tercurahkan kepada keluarga beliau yang suci dan para shahabat beliau semuanya.

Wa ba’du :

Bahwasanya al-akh Asy-Syaikh Ali Ba Bakar –semoga beliau senantiasa diberi taufiq oleh Allah- telah menunjukkan kepada saya sebuah tulisan kecil perihal sufisme di Hadramaut dan sungguh sangat mengejutkan saya apa-apa yang beliau nukil dari kitab-kitab mereka yang disertai dengan penyebutan juz dan halamannya, berupa kisah-kisah dan riwayat-riwayat yang dienggani oleh Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman yang bertauhid (kepada Allah), serta apa-apa yang disebutnya itu berupa penisbatan keistimewaan-keistimewaan Rububiyyah kepada makhluq, diantaranya :

1. Meniupkan ruh pada benda-benda mati, padahal Allah berfirman : (yang artinya)
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (Qs. Al-Israa’ : 85)

2. Menghidupkan orang-orang yang telah mati, padahal Allah U berfirman : (yang artinya)

"Yang demikian itu, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang haq dan sesungguhnya Dialah yang menghidupkan segala yang mati dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala suatu," (Qs. Al-Hajj : 6)

3. Mengatakan kepada sesuatu “Kun Fayakun” (jadilah maka terjadilah)! padahal Allah berfirman tentang diri-Nya : (yang artinya)

"Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia." (QS. Yasiin : 82)

4. Mendakwahkan mengetahui ilmu ghaib, padahal Allah berfirman : (yang artinya)

(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. (QS. Al-Jin : 26-27)

5. Menyembuhkan orang-orang yang sakit, padahal Allah berfirman melalui ucapan Ibrahim al-Khalil : (yang artinya)

"Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku," (QS. Asy-Syuaara’ : 80)

6. Jaminan surga bagi para murid (orang yang mau mengikuti tarekat mereka, pent). Dan penghapusan berbagai dosa-dosanya dari lauhil mahfudh, serta hal-hal yang serupa dengan keenam hal tersebut diatas.

Semua ini dan lainnya dari berbagai kisah-kisah dan riwayat-riwayat lain tidak berdasarkan pada dalil-dalil naqli (al-Qur’an dan Hadits) dan tidak pula diterima oleh akal, semua itu dinukil oleh asy-Syaikh Ali Ba Bakar (Ali Ba Bakar bin Yahya, pent) dalam tulisannya ini.

Kisa-kisah dan riwayat tersebut adalah kekufuran yang nyata, tidak diragukan lagi oleh seorang muslim yang bertauhid. Riwayat-riwayat tersebut tidak boleh diyakini dan tidak boleh diriwayatkan kecual untuk memperolok-olok dan membantah.

Dan tidaklah kondisi manusia disana (di Hadramaut) sampai demikian melainkan disebabkan oleh hawa nafsu, kebodohan dan jauhnya dari (ajaran) al-Qur’an dan as-Sunnah.

Namun saya berbeda pendapat dengan peulis buku ini (Syaikh Ali Ba Bakar bin Yahya) dalam masalah yang sering disebutnya berulang-ulang bahwa semua yang disebutnya (berupa penyimpangan) didorong oleh keinginan materialis murni atau propaganda untuk pemasaran dan penggiatan pariwisata religi guna menarik para wisatawan semaksimal mungkin seperti yang beliau ungkapkan.

Dan tentunya orang-orang yang menjadi objek dalam (riwayat dan kisah-kisah itu) berlepas diri dari apa-apa yang dinisbatkan (disandarkan) kepada mereka : sebab para Rasul dan Nabi pun telah didustakan atas nama mereka. Dan hendaknya para cucu dan pengikut mereka (para habib yang disebutkan dalam dongeng-dongeng itu, pent) berlepas diri pula dari riwayat dan kisah-kisah itu serta menafikan penisbatannya kepada kakek dan panutan mereka itu serta tidak boleh meriwayatkannya untuk membenarkannya.

Dan kewajiban anak terhadap ayah-ayah mereka minimal menafikan kekufuran dari mereka serta membersihkannya dari mereka. Sikap ini termasuk perbuatan bir (bakti) terhadap ayah-ayah mereka. Sebab bukan merupakan kebanggaan sedikitpun tatkala kakek seseorang mendakwakan mampu menghidupkan orang-orang yang telah mati, atau mengetahui yang ghaib atau ia bias menyatakan pada sesuatu “jadilah maka jadilah sesuatu itu”. Wa ‘I yaadzu billah (kita mohon perlindungan dari Allah dari itu semua).

Dan sesungguhnya saya mengajak semua anak-anak para Saadah (para Sayyid) baik yang berada di Hadramaut dan yang di luar Hadramaut untuk kembali pada kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya saw kakek/Datuk mereka Muhammad bin Abdillah sesuai dengan manhaj (jalan) para salaf pendahulu mereka yang shalih, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali r.anhum serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.

MUQADDIMAH
Asy-Syaikh Abu Bakar bin Haddar al-Haddar

Segala puji hanya milik Allah Rabb semesta alam. Kami mengucapkan shalawat dan salam kepada “yang diutus” bagi alam semesta, Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabat beliau semuanya serta orang-orang yang berjalan diatas jalan mereka dan melaksanakan sunnah mereka sampai hari kiamat.

Amma ba’du :

Bahwasanya saya telah membaca tulisan Asy-Syaikh Ali Ba Bakar yang diberi judul “Hadzihi Hiyash Shufiyyah fi Hadramaut” (Membongkar kedok sufisme di Hadramaut) maka kudapati buku tersebut sangat bagus pada bidangnya dan isinya sangat bermanfaat. Tulisan tersebut telah menelanjangi mereka para sufi itu tentang hal-hal yang mereka dakwakan berupa kekeramatan, menyingkap aib mereka dan menjelaskan berbagai kesesatan mereka dan kami berlepas diri kepada Allah dari itu semuanya.

Dan meskipun saya sepakat dengan Asy-Syaikh Ali Ba Bakar tentang apa-apa yang beliau ceritakan perihal orang-orang sesat itu, namun saya berbeda dengannya tentang sebab yang menyebabkan mereka terjerumus dalam keadaan ini.

Maka, bisa jadi karena kejahilan yang bertumpuk selama bertahun-tahun menyebabkan mereka terjerumus dalam kondisi tersebut plus disebabkan sedikitnya ulama Rabbani yang memiliki aqidah yang benar.

Kami memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang terbaik dan sifat-sifat-Nya yang termulia semoga Dia mengembalikan kita dan mereka semua kepada al-hak dan semoga dia mengilhami kepada kita petunjuk dan menampakkan kepada kita bahwa yang hak itu hak serta menganugerahkan kepada kami untuk mengikutinya dan menampakkan kepada kami bahwa yang batl itu batil serta menganugerahkan kepada kami untuk menjauhinya. Sesungguhnya Dia-lah yang mengurusi itu yang Maha Kuasa untuk melaksanakannya.

Ditulis oleh
Abu Bakar bin Haddar bin Ahmad al-Haddar
Hadramaut – Inat
Jumadul ula 1426 H.

Muqaddimah Asy-Syaikh Shaleh bin Bakhit bin Salim Muala Dawilah
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan hidayah kepada kami untuk memeluk agama Islam
“Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk.” (QS. Al-A’raf : 43)
Demikian pula Dia telah mengajarkan kepada kita al-Hikmah (Sunnah Rasulullah) dan al-Qur’an serta menjadikan kita sebagai umat terbaik yang ditampakkan kepada manusia, dan mengenakan kepada kita pakaian ketaqwaan sebaik-baik pakaian.
Aku memuji-Nya (Yang Maha Suci), aku bersyukur kepada-Nya, bertaubat dan memohon ampun kepada-Nya. Dan aku bersaksi bahwasanya tiada sesembahan yang hak kecuali Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya dalam rububiyah, uluhiyah dan nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
Aku bersaksi pula bahwasanya Muhammad adalah hamba-Nya, Rasul-Nya dan manusia terpilih diantara makhluq ciptaan-Nya. Dia adalah sebaik-baik manusia untuk manusia, lentera yang menyala, cahaya serta pelita, rahmat dan kesejukan. Semoga shalawat dan salam-Nya senantiasa tercurahkan kepada beliau, keluarganya dan para shahabatnya serta orang-orang yang berjalan diatas jalan mereka dan mengikuti jejak mereka sampai hari kiamat kelak. Wa ba’du :
Bahwasanya bencana tashawwuf benar-benar telah merebak dan membesar di Timur dan di Barat, menimpa berbagai belahan umat. Sampai-sampai hampir tiada suatu lembah dan suatu bukitpun yang lengang dari bencana tasawwuf ini.
Tasawwuf ini, meskipun sebuah peringatan sial dan petunjuk kepada penyimpangan. Namun demikian menurut orang-orang yang bodoh dan lalai ia adalah tolak ukur/barometer bagi sebuah pembenaran dan pengakuan [sebuah kebenaran, pent]. Dan bukan ini tempatnya untuk menjelaskan kebrobrokan barometer ini. Dan cukuplah bagi saya ayat yang termaktub dalam al-Qur’an :
"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah." (QS. Al-An’am : 116).
Dan firman Allah (yang artinya) :
"Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya." (QS. Yusuf : 103)
Sebagaimana saya-pun tidak bermaksud dengan bala ini tashawwuf mawalid dan hadrah karena hal itu terlalu kecil untuk menyingkap kepalsuannya dan menjelaskan kebatilannya serta keterputusannya dari agama Allah dan petunjuk Rasulullah. Dan tidak pula saya maksudkan dengan bala ini, tasawwuf suluk, ar-riyadhah dan akhlaq, karena semua umat dimuka bumi ini ikut andil padanya, ia dibutuhkan menurut pendapat orang-orang berakal dialam ini. Sementara manusia dalam tasawwuf suluk, riyadhah dan akhlaq ada yang meremehkannya dan ada pula yang bersungguh-sungguh [melaksanakannya].
Dalam masalah ini orang-orang yang mendapat taufiq dan mengikuti petunjuk, mereka berjalan diatas jalan Al-habib Al-Musthafa yang mana beliau telah dibina oleh Rabbnya sebaik-baik binaan dan mensucikannya serta mengindahkan.
"Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung." (QS. Al-Qolam : 4)
Sementara orang-orang selain mereka menaiki/menempuh jalan-jalan dan madzhab-madzhab lain, lalu mereka-pun berbuat jelek dan berbuat baik, berbuat yang benar juga berbuat yang salah.
Katakanlah: “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing”. (QS. Al-Israa’ : 84).
Dan tidak juga yang saya maksudkan dengan bala disini adalah tasawwuf zuhud, karena orang-orang yang zuhud begitu mulia lagi bertakwa, begitu benar lagi suci, mereka rela berlapar-lapar dan tidak mengenakan alas kaki serta menyendiri dan mengasingkan diri dari manusia :
“Apabila ia berada di pos penjagaan-ketika perang- ia terus menjaga, dan apabila ia di garis belakang pertahanan ia terus disana, apabila ia meminta izin tidaklah diizinkan dan apabila memberikan perantara tidak diterima perantaraannya”.
Mereka menganggap karomah sebagai sebuah peringatan dan ancaman, penghormatan sebagai sebuah tipuan, pujian sebagai sebuah ujian dan fitnah, walaupun mereka memperoleh itu semua.Barangsiapa yang mencintai mereka, maka haruslah lebih mencintai kebenaran diatas cintanya kepada mereka, perkataan mereka bisa diterima juga disa ditolak, mereka tidak mendakwakan bahwa diri mereka ma’shum, dan tidaklah yang mengaku ma’sum kecuali ia termasuk pembohong atau orang yang menyimpang.
Sesungguhnya yang aku maksudkan disini adalah sufisme yang merupakan sebuah musibah dan ancaman , yang mana mereka [orang-orang tasawuf] tersebut bersembunyi dari fenomena -fenomena yang telah kami singgung diatas. Yang mana mereka itu menyembunyikan dalam hati mereka hal-hal yang bertentangan dengan apa yang mereka tampakkan. Allah telah berfirman (yang artinya) :
“Dan sesungguhnya kamu dapat mengenal mereka dari hiasan perkataan mereka.” (Muhammad : 30)
Allah juga berfirman (yang artinya) :
“Mengapa kamu mencampurkan yang hak dengan yang batil, dan menyembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahui.” (Ali Imran : 71)
§ Sufisme yang berbentuk paganisme dan penyatuan aliran-aliran kepercayaan syirik.

§ Sufisme yang meyakini “Al-Hulul” (Al-hulul menurut kaum sufi adalah : Bahwasanya Allah memilih sejumlah tubuh manusia kemudian bersemayam (hulul) disana sehingga tubuh-tubuh tersebut memiliki esensi ketuhanan, lepas dari esensi ke”manusiaan”nya, seperti tubuh orang-orang yang arif dari kalangan para wali dan orang-orang yang suci jiwanya. Ini adalah persangkaan kelompok hululiyah, ‘abdul qoohir Al-Baghdadi menyebutkan bahwa hululiyah memiliki sepuluh sekte yang berinduk kepada ekstremis rafidhah, Ibnu Taimiyah membaginya kedalam dua kelompok, yang pertama : mereka yang menyebutnya sebagai hulul khusus, ini adalah pendapat para penganut Kristen Nestorian dan ekstremis rafidhah yang mengatakan bahwasanya Allah bersemayam di tubuh ‘Ali bib Abi Thalib dan para imam Ahlilbait juga sebagian ekstremis lainnya yang mengatakan bahwa Allah bersemayam di tubuh para waliNya .( Mu’jam Mushtotholah As-shufiyah hal.86, Al-farqu bainal firoq 253,Majmu’ fatawa 2/171-172. Dinukil dari Ma’aalimil jarh wa ta’dil karya Abu ‘Abdurrohman Muhammad Al-mahdi.) dan meyakini bahwa Allah bersatu dengan makhluknya, dan paham-paham sufistik yang lancang dan melenceng.

§ Sufisme yang penuh dengan kedustaan, khurofat (cerita-cerita bohong) dan tercela .

Mereka datangi semua agama yang dianut semua manusia dan pemikiran-pemikirannya dan meminta saling berlomba untuk menutup-nutupi ciri asli agama-agama tersebut .

Setelah itu merekapun bergegas untuk memutar balikkan fakta, mencoba meninjau kembali syari’at ini dan mendirikan lembaga-lembaga untuk kemudian menjebak manusia kedalam faham tersebut.

Sebuah bentuk persaingan yang gila-gilaan dan melampaui batas. Yang mana sebahagian dari mereka mengaku mampu untuk merubah apa yang tercatat di lauhul mahfudz, yang lainnya mengaku mampu untuk memadamkan api neraka dan menutupnya. Yang lainnya mengaku sebagai penyanding Allah dan dekat bersama-Nya di Arsy. Maha suci Allah dari itu semua, sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar dari ucapan dan perbuatan yang itu semua tidakklah mungkin muncul dari seorang yang berakal apalagi dari seorang muslim yang beilmu lagi terhormat.

Dari Daud bin Sholih, ia berkata : Aku berkata kepada Abdurrahman bin Mahdi : “wahai Aba Sa’id sesungguhnya di negara kita ini ada orang-orang sufi”. Abdurrahman berkata : “Jangan sampai engkau dekati mereka, sesungguhnya kita telah melihat diantara mereka kaum yang suatu hal [sufisme] telah menjadiikan mereka gila sedangkan sebahagian yang lain telah menjadi zindiq.
Parahnya lagi, mereka menyandarkan perkataan batil dan perbuatan rusak mereka kepada orang-orang terdahulu yang memiliki kemuliaan, seperti penyandaran kebatilan dan pencampuradukan yang mereka buat kepada imam ahli bait, semua itu adalah upaya untuk melariskan yang batil dan menghiasinya.
Adapun orang-orang yang benar dari kalangan Ahlulbait, maka mereka seperti manusia lainnya yang mencari kebenaran dengan metode dari umat terbaik [yaitu para sahabat Nabi dan orang-orang yang mengikuti dan meneladani mereka]. Para ahlulbait itu mengikuti dan mencontoh dan mereka bukanlah orang-orang yang membuat kebid’ahan dan mengada-ada dalam agama. Mereka adalah orang yang paling bersemangat mengikuti sunnah dan paling memperhatikan serta terdepan membela sunnah dan orang-orang yang mengikutinya, dari rumah-rumah mereka muncul pengamalan terhadap sunnah dan dengan tenaga -tenaga mereka sunnah ini ditampakkan.
Kemudian sesudah itu, mereka ini seperti manusia pada umumnya – selain dalam hal yang Allah memberikan kekhususan bagi mereka -, diantara mereka ada orang alim dan bodoh, ada yang diberi pentunjuk, ada juga yang sesat, ada yang memperoleh hidayah, dan juga ada yang menyimpang, bahkan ada yang muslim dan ada juga yang kafir,
“Barangsiapa yang lamban amal perbuatannya maka nasabnya tidak akan dapat mendahuluinya” (Muslim 2699, dari Abu Hurairah)
Nasab mereka sebenarnya lebih tepat sebagai sebuah beban daripada sebuah penghormatan, dan sikap mereka yang acuh tak acuh terhadap upaya untuk menyebarkan dan membela sunnah akan menjerumuskan mereka kedalam kehinaan.
Adapun karomah maka ia adalah pokok bahasan tulisan ini, sebagaimana pembahasan lainnya mengenai aqidah. Dimana manusia terbagi antara yang berlebih-lebihan dan yang menyepelekan. Ada yang ke-timur dan ada yang ke-barat, ada yang setuju dan ada yang mengingkari, masing-masing kelompok itu tercela.
Yang benar adalah (sikap tengah) berada diantara sikap berlebih-lebihan dan menyepelekan. Hanya saja cacat yang ada pada orang-orang sufi dalam masalah aqidah ini dapat ditinjau dari beberapa segi :
Pertama :
Mereka suka menggembar-gemborkan masalah karomah. Padahal seharusnya para ahlul ‘ilmi memiliki rasa takut dan rendah hati – sebagaimana sikap para salaf- seperti dalam perkataan Umar berikut ini ( Demi Allah.. seandainya aku memiliki emas sebesar bumi ini, akan aku pergunakan untuk menebus diriku ini dari azab neraka sebelum aku menghadap Allah)
Adapun mereka, hampir-hampir ada tidak akan mempercayai bahwa yang berbicara tentang karomah ini adalah orang Islam, yang menyerah, mengagungkan dan memuliakan untuk Allah Rabbul Alamin. Perhatikan perkataan Abu Yazid al-Bustami ini, ketika ia berkata : Aku berharap agar kiamat itu terjadi, sehingga tempat tinggalku ini terperosok kedalam neraka. Ada seorang bertanya : Mengapa demikian wahai Abu Yazid ? Aku tahu bahwa neraka akan padam jika melihatku sehingga aku menjadi anugerah untuk penghuni neraka yang lain, jawabnya.
Kedua :
Mereka bermain-main dan bersenda gurau dalam masalah karomah ini, bahkan seringkali hanya untuk memuaskan selera dan hawa nafsu saja . seakan-akan salah seorang diantara mereka di restoran atau hidangan, ia meminta apa saja yang diinginkannya.
An-nuuri berkata : Ketika aku berada disebuah kolam, ada beberapa orang mendatangiku dan mereka berkata : kami datang kesini untuk memancing ikan , lalu mereka berkata kepadaku : Wahai Abu Hasan (An-Nuuri), tunjukkan kepada kami ikan seberat 3 pound, tidak lebih dan tidak kurang, sebagai hasil ibadah dan kesungguhanmu dalam beramal ! Akupun berkata kepada waliku : Seandainya engkau tidak memberikanku seekor ikan seperti yang mereka pinta maka aku akan menceburkan diriku kedalam kolam ini, lalu keluarlah seekor ikan dan ketika aku timbang ternyata beratnya 3 pound tepat.
Hal seperti ini terjadi karena kebodohan mereka terhadap hikmah dibalik karomah itu sendiri, padahal tujuan dari karomah adalah guna menolong agama Allah, menegakkan sunnah serta mengokohkan agama ini. Bukannya sebagai gurauan, pemuasan terhadap hawa nafsu, pamer otot, menakut-nakuti umat ataupun untuk memperoleh kedudukan dan melariskan objek-objek wisata rohani/religi.
Ketiga :
Penjiplakan cerita tentang karomah, silahkan anda melihat buku-buku peninggalan sufisme dari masa dan tempat yang berbeda-beda niscaya anda akan melihat bagaimana “karomah” mereka ini hanya berkisar seputar permasalahan yang sama, nama dan tempatnya berbeda namun kejadiannya serupa, hal ini dapat anda temukan pada sufisme yang biasa di Hadramaut, Sudan, Mesir atau Maroko bahkan dimana-mana saja.
Keempat :
Menisbatkan karamah dengan dugaannya : (Diantara mereka ada yang melihat seberkas cahaya di angkasa. Jika terjadi pada bulan Ramadhan maka ia akan berkata : Aku telah melihat lailatul qadar sedangkan jika terjadi pada selain bulan Ramadhan maka ia akan berkata pintu langit telah terbuka untukku).
Mungkin saja sesuatu yang diinginkan itu terjadi, lalu ia menyangka hal itu sebuah karamah, padahal bisa saja kejadian yang ia lihat itu sebagai sebuah ujian atau tipu daya Iblis. Seorang yang berakal tentulah tidak akan mempercayai sepenuhnya hal tersebut walaupun hal itu adalah karamah. Ini semua adalah buah dari sikap terlalu berlebih-lebihan mereka terhadap karamah, sehingga mereka menjadikan tujuan pengikut mereka mencari karamah, padahal yang diperhatikan orang-orang shalih itu adalah mencari keistiqamahan bukan mencari karamah.
Ibnul Jauzi berkata : Iblis telah memasukkan perangkapnya kepada suatu kelompok manusia, dimana mereka membuat dongengan-dongengan tentang karamah-karamah para wali untuk menyokong keadaan mereka, padahal kebenaran tidak membutuhkan sokongan dari kebatilan, dan Allah akan menyingkap perbuatan mereka ini melalui para ulama-ulama sunnah.
Mereka akan terus menerus seperti itu sampai-sampai mereka mengaku memiliki sesuatu yang sebenarnya khusus dimiliki oleh Allah saja. Seperti mengetahui hal-hal ghoib dan dapat mengetahui isi lauhul mahfud dan dapat membacanya, serta mengatur alam semesta beserta galaxinya, atau mereka berbuat keharaman lalu mengatakannya sebagai karamah.
Ibnul Jauzi melanjutkan : dari Abdul Aziz al-Baghdadi ia berkata : aku membaca hikayah-hikayah sufisme, suatu hari aku naik atap, tiba-tiba aku mendengar suara berkata :
“Dan Dia-lah yang melindungi orang-orang yang shalih” (al-Araf : 196)
Aku menoleh, namun tidak kujumpai suatu apapun, lalu aku meloncat dari atap dan berdiri di udara.
Komentar saya : ini kedustaan serta mustahil, dan akal akan meragukan kedustaan ini, kalaupun kita menganggap benar maka loncatnya ia dari atap adalah haram, dan dugaannya bahwa Allah akan menolong orang yang melakukan hal terlarang adalah hal batil, Allah berfirman (yang artinya) :
“Dan janganlah dirimu menjatuhkan kedalam kebinasaan” (al-Baraqah : 195)
Bagaimana mungkin orang seperti ini adalah seorang yang sholeh, sedangkan ia menyelisihi Tuhannya? Maka dapat diperkirakan bahwa barangsiapa yang memberitakan hal-hal seperti ini maka maka ia dari golongan mereka?! Telah menyempal dalam tubuh sufisme ini suatu kelompok yang serupa dengan mereka dan bersikap sama dengan mereka dalam permasalahan karomah dan dakwaan-dakwaan mereka lainnya yang mereka ini menunjukkan kepada orang-orang awam berbagai kedustaan yang membuat hati orang awam ini mati.
Kelima :
Mereka menjadikan “karomah” sebagai syarat ataupun tanda sebuah kewalian, dan mengantarkan sikap pengagungan dalam hati terhadap orang diberikan karomah, dan melegitimasi, mengkultuskan dan menyetujui apa yang mereka katakan dan apa yang mereka perbuat.
Ibnu Taimiyah berkata : Kebanyakan manusia mengalami kerancuan dalam masalah ini, sehingga ia menyangka seorang tokoh tertentu adalah wali Allah, dan wali Allah tersebut dapat diterima seluruh perkataan maupun perbuatannya, walaupun bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah, sehingga orang ini mengikuti tokoh tersebut dan menyelisihi apa yang Rasulullah diutus dengannya, padahal Allah telah mewajibkan kepada seluruh manusia agar membenarkan ajaran yang disampaikannya dan mentaati perintahnya, dan Allah juga telah menjadikan Rasulullah sebagai pembeda antara wali Allah dan musuh-musuhNya, antara penghuni surga dan penghuni neraka, dan antara orang-oarang yang bahagia dan yang celaka, barangsiapa yang mengikutinya maka ia adalah wali Allah yang bertakwa dan tentaranya yang berjaya, serta hamba-hambanya yang sholeh, dan barangsiapa yang tidak mengikutinya maka ia termasuk musuh-musuh Allah yang merugi dan pendosa. Sikap orang seperti ini (yang menyelisihi Allah dan rasulNya namun malah mengikuti tokoh ini) akan menjerumuskannya kedalam dua hal ini : yang pertama, kedalam bid’ah dan kesesatan, kedua, kedalam kekufuran dan kemunafikan, maka orang seperti ini layak mendapat ancaman dari firman Allah (yang artinya) :
“Dan (ingatlah) hari(ketika itu) orang-orang yang dzalim menggigit kedua tangannya(( menyesali perbuatannya)) seraya berkata “aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama rasul. Kecelakaan besarlah bagiku kiranya aku tidak menjadikan sifulan itu sebagai teman karibku. Sesungguhnya ia telah menyesatkan aku dari Al-qur’an ketika al-qu’an itu datang kepadaku, dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia (al-furqon 27-29 )
Ibnu taimiya melanjutkan : Segala orang yang dianggap wali Allah yang menyelisihi ajaran Rasulullah, dan ia diikuti dalam perbuatannya yang menyelisihi syariat itu, dan ia menetapkan bahwa dirinya adalah wali Allah, padahal seorang wali Allah itu tidak akan menyelisihi perintah Allah sedikitpun, seandainya orang ini termasuk diantara wali-wali Allah yang terkemuka, seperti para sahabat dan tabi’in (orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik), maka Allah tidak akan menerima amalan-amalan mereka yang menyelisihi al-Qur’an dan sunnah, lalu bagaimana halnya jika ia tidak termasuk wali Allah?
Anda akan menjumpai sebagian dari mereka yang pijakan mereka dalam meyakini bahwa ia adalah seorang wali adalah tersingkapnya kepada mereka perkara-perkara masa depan, atau kejadian-kejadian supranatural seperti menyantet orang hingga mati, atau ia mampu terbang di udara menuju kota mekkah atau tempat lainnya, atau kadang-kadang berjalan diatas air, memenuhi ceret dari udara, atau berbicara hal-hal gaib, atau dapat menghilang dari pandangan manusia, atau ketika seseorang memohon pertolongan kepadanya padaha ia tidak disitu atau bahkan telah mati kemudian pemohon tersebut melihatnya mendatanginya dan mengabulkan permohonannya, atau memberitahukan manusia tentang barang-barang mereka yang dicuri, keadaan orang yang tidak ada dihadapan mereka, atau orang yang sakit, dan berbagai perkara lainnya. Yang menunjukkan bahwa pelakunya merupakan wali Allah, padahal para wali Allah (yang sebenarnya) telah bersepakat dan mengatakan bahwa jika ada seseorang yang mampu terbang atau berjalan diatas air janganlah kita tertipu, sampai kita menyaksikan sejauh mana ia mengikuti sunnah Rasulullah, mengerjakan perintahnya dan menjauihi apa yang dilarangnya.
Karomah para wali Allah sesunggahnya lebih agung dari itu semua, ini adalah masalah supranatural, bisa saja pelakunya adalah seorang wali Allah atau bisa saja ia adalah musuh Allah, hal-hal tersebut bisa saja dimiliki oleh orang-orang kafir, orang musyrik, ahli kitab dan orang-orang munafik, dan bisa saja dimiliki oleh para ahli bid’ah bahkan oleh syaitan, maka tidak boleh menduga bahwa barangsiapa yang memiliki sebagian kemampuan tersebut sebagai wali Allah, namun hendaklah seorang wali Allah itu diakui dengan sejauh mana sifat, perbuatan maupun keadaannya yang lain yang sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, dan mereka dapat dikenali berdasarkan cahaya iman dan al-Qur’an yang mereka miliki dan dengan hakikat keimanan yang ada dalam hati mereka serta syari’at-syari’at Allah yang mereka tampakkan.
Dan saya menukil perkataan diatas secara panjang lebar karena begitu berharga dan menyeluruh. Karena dalam masah ini yang terlarang bukanlah cerita tentang karomah-karomah, walaupun cerita tersebut dipenuhi dengan kemungkaran, akan tetapi yang terlarang adalah syariat-syariat, istighasah-isthigasah, ziarah-ziarah, pengkultusan, perayaan-perayaan, mimpi-mimpi, dongeng-dongeng yang dibangun dari karamah-karamah itu, mereka membesar-besarkan keanehan hal-hal tersebut dan menyibukkan manusia dengannya demi mempopulerkan kesyirikan-kesyirikan serta kebidahan-kebidahan yang mereka lakukan,
“Maka hati-hatilah kalian terhadap mereka.” (at-Thaghabun : 14)
Syaikh Ali Babakar – semoga Allah memberinya taufiq – dalam karya beliau ini memfokuskan pembicaraannya mengenai sejumlah cerita-cerita dusta, khurofat, propropaganda-propaganda sufi, dan kemungkaran-kemungkaran yang mereka nisbatkan atau mereka jiplak, atau riwayat-riwayat dengan sanad yang majhul. Beliau mebongkar itu semua, yang semua itu menunjukkan bahwa sikap beliau, saya yakini sejalan dengan perkataan ibnu jauzy : Seandainya cerita-cerita tersebut benar datang dari orang-orang shalih maka kita harus menolaknya jika tidak sejalan dengan “al-haq”, apalagi kalau hal tersebut hanya dusta belaka, maka kita harus memperingatkan manusia dari hal tersebut, dan sikap seperti ini berlaku kepada siapapun juga….Allah Maha Mengetahui bahwa ketika kami menjelaskan penyimpangan-penyimpangan tersebut semata-mata hanyalah untuk menyucikan syari’at, dan karena didorong oleh rasa cemburu terhadapnya dari berbagai bentuk pengkhianatan, bukan karena didorong oleh rasa benci kepada para pelaku penyimpangan tersebut, karena sesungguhnya kami melakukan ini semua dalam rangka memenuhi amanah ilmiah, para ulama senantiasa menerangkan kesalahan masing-masing mereka dengan tujuan menerangkan kebenaran dan bukan bertujuan menampakkan aib orang yang salah, dan perkataan orang bodoh yang mengatakan seperti ini tidak dianggap : “Bagaimana dia membantah fulan yang zuhud”. Karena tunduk itu adalah kepada syariat agama dan bukan tunduk kepada seseorang, bisa jadi seseorang itu termasuk dari kalangan para wali Allah dan calon penghuni surga namun ia mempunyai kesalahan-kesalahan, maka keadaannya itu tidak menghalangi untuk dijelaskan ketergelincirannya …..dst.
Banyaknya orang-orang yang berkeyakinan salah seperti ini bukanlah hal penting bagi pengarang kitab ini, – menurut dugaan saya – namun tujuan pengarang kitab ini hanyalah menyingkap penyimpangan mereka, serta menunjukkan kebatilan mereka kepada orang-orang yang mempunyai fitrah yang lurus dan akal yang sehat, yang tertipu dengan ucapan dan hiasan kata-kata mereka, adapun mereka itu adalah seperti apa yang di hikayatkan oleh Ibnul Jauzi tentang syaikh mereka al-Qusyairi, yang berkata : “Hujjah-hujjah sufisme lebih nyata dari hujjah siapapun, dan kaidah-kaidah madzhab mereka lebih kuat dari kaidah-kaidah madzhab manapun, karena manusia itu bisa jadi ia pengikut al-Qur’an dan sunnah atau sebagai pendewa akal pikiran, para syaikh dari golongan sufiyah lebih tinggi derajatnya dari apa yang telah disebutkan ini.”
Mereka itu tidak berakal, dan tidak mempunyai dasar, bagaimana mungkin petunjuk diharapkan dari orang yang menyingkapkan keadaannya dengan perkataannya yang jelek, semoga Allah menjaga syariat ini dari kejelekan kelompok ini.

Barangsiapa yang mengharapkan keselamatan hari esok dan berkumpul bersama para imam yang memperoleh petunjuk dan selamat dari jalan yang sesat, maka ia harus berpegang pada kitabullah, mengamalkannya, dan hendaknya mengikuti Rasulullah dan para sahabatnya, dan dan hendaknya melihat ajaran Rasulullah dan para sahabatnya, dan janganlah ia membenci ajarannya baik melalui ucapan maupun perbuatan, dan hendaknya ia menjadikan segala ibadah dan kesungguhannya di atas sunnah Rasulullah dan para sahabatnya, dan berperilaku dengan akhlak mereka, dan sesantiasa semangat untuk berjumpa dengan mereka, karena sesungguhnya jalan yang mereka tempuh adalah jalan yang lurus, yang Allah mengajarkan kita untuk memohon jalan yang lurus ini, dan menjadikan sholat kita berisikan permintaan terhadapnya, Allah berfirman
” Tunjukilah kami jalan yang lurus. Yaitu jalan orang-orang yang yang telah engkau beri ni’mat atas mereka, bukan jalannya orang orang yang engkau murkai dan bukan pula jalan orang orang yang tersesat. Amin (Al-fatihah 6-7)
Barangsiapa yang meragukan bahwa Rasulullah berada diatas jalan yang lurus, sungguh ia telah keluar dari agama ini dan keluar dari jama’ah kaum muslimin. Dan barangsiapa yang mengetahui hal tersebut dan meyakininya serta ridho terhadap Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya dan Muhammad sebagi nabinya, dan ia mengetahui bahwasanya Allah telah memerintahkan kita untuk mengikuti nabi-Nya, melalui firmanNya
“Ikutilah ia (Muhammad) niscaya kalian akan memperoleh petunjuk (Al-a’raf 158 ),
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menjelaskan hal tersebut.
Dan sabda Nabi (yangartinya) :
“Hendaknya kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidin sepeninggalku, gigitlah sunnah dengan gigi geraham kalian, dan hati-hatilah kalian dari perkara-perkara baru (dalam agama), karena hal itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah tempatnya di neraka”
Dan sabda beliau (yang artinya) :
Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad dan sejelek-jelek perkara adalah perkara baru (dalam agama)
Lalu bagaimana halnya dengan orang yang menoleh ke kanan dan ke kiri dari jalan Nabi, dan berpaling darinya setahap-setahap, dan mencari jalan penyampai kepada Allah dengan selain jalan Nabi, dan mengharap ridha Allah dengan menempuh selain jalannya?
Apakah dia melihat jalan yang lebih memberi petunjuk dari Jalan Nabi? Dan mengikuti petunjuk manusia yang lebih mulia dari Rasulullah?
Sekali-kali tidak, ia tidak akan mendapatkan selain jalan Allah kecuali jalan syaitan, dan ia tidak akan sampai tanpa jalan Allah melainkan akan mendapatkan kemurkaan Allah, Allah berfirman :
“Dan inilah jalan-Ku yang lurus ikutilah dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai beraikanmu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa” (al-An’am : 153)
Dan diriwayatkan dari Nabi bahwasanya beliau menggaris garis yang lurus, lalu bersabda : inilah jalan Allah. Dan beliau menggaris garis yang lain, dan bersabda :
Ini adalah jalan-jalan syaitan, setiap jalan itu ada syaitan yang menyeru untuk menempuhnya, barangsiapa memenuhi seruan syaitan untuk menempuh jalan itu, maka akan dilemparkan kedalam api neraka. (HR Ahmad dan Nasai)
Nabi memberitahukan bahwa selain jalan Allah adalah jalan-jalan syaitan, barangsiapa menempuhnya maka akan dilemparkan dalam api neraka, adapun jalan Allah yang telah ditempuh Nabi dan para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik hingga hari kiamat, Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha pada Allah, dan Allah sediakan bagi mereka surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai dan itulah kemenangan yang besar, maka barangsiapa menempuhnya pasti bahagia, dan barangsiapa meninggalkannya pasti akan jauh.
Dan jalan Rasulullah, beserta sunnah, ahklak, sejarah beliau, beserta ibadah-ibadah dan keadaan beliau sudah mashur d kalangan ulama, nampak jelas bagi orang yang cinta untuk mengikuti dan menempuh manhaj beliau, dan kebenaran itu jelas bagi orang yang menghendaki petunjuk dan keselamatannya :
“Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya” (al-Kahfi : 17) (Kitab “Fi dzammi ma a’lanahu ahlut tashawwuf” hal 18-21)
Dan pengarang kitab ini – semoga Allah memberi petunjuk kepadanya – meminta kepada kami al-fakir untuk menulis muqaddimah ini lantaran kencintaannya kepada ahli bait, dan kecemburuannya atas mereka karena kebatilan, kebid’ahan dan khurafat telah tersebar dengan nama mereka, sekaligus lantaran keinginannya untuk menjelaskan hakikat kedudukan mereka di tengah banyaknya keyakinan-keyakinan, ucapan-ucapan serta garis keturunan yang ada.
Ya Allah perlihatkanlah yang haq itu berupa yang haq dan berilah kami rezki untuk mengikutinya, dan perlihatkanlah yang batil itu batil dan berilah kami rezki untuk menjauhinya, dan janganlah kebatilan itu menyelubungi kami sehingga kami tersesat
Dan semoga shalawat, salam serta barakah tercurahkan kepada Muhammad bin Abdillah, keluarga, sahabat dan siapa yang menolongnya.
Shaleh bin Bakhit bin Salim Maula Dawilah
26/1/1424 H

(bersambung Insya Allah)
Rujukan:
Adz-Dzakhirah edisi 17 & 18

Sumber: Salafindo.com

0 komentar:

Posting Komentar